SELAMAT DATANG DI JOGJACULTURAL, ANDATELAH MENEMUKAN TEMPAT YANG TEPAT UNTUK MEMPEROLEH INFORMASI DINAMIKA BUDAYA YANG ADA DI JOGJA, KAMI HADIR UNTUK MENAMBAH KHASANAH INFORMASI BUDAYA DEMI KEMAJUAN BUDAYA DI JOGJAKARTA

4/18/13

RITUS KEMATIAN - RITUS PERALIHAN, RITUS PENANDAAN, RITUS PERTUKARAN -

RITUS  KEMATIAN

- RITUS  PERALIHAN,  RITUS  PENANDAAN,  RITUS  PERTUKARAN -

Heddy Shri Ahimsa-Putra
Antropologi Budaya
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada



1. Pengantar

     Kematian adalah sebuah kepastian bagi segala sesuatu yang hidup. Di atas bumi ti-dak ada kehidupan tanpa kematian. Meskipun demikian, manusia tidak pernah berhenti meratapinya. Meskipun usia kematian lebih tua daripada usia manusia itu sendiri, dan sejak awal kehadirannya di muka bumi manusia telah mengenalnya, namun kematian selalu saja mendatangkan sebuah kegelisahan, ketika direnungkan dengan mendalam. Selalu saja ada pertanyaan, kemana setelah mati? Adakah kehidupan sesudah mati? Seperti apa kiranya kehidupan tersebut? Akankah kita hidup lebih baik di situ? Ataukah menjadi lebih menderita? Apa yang perlu dilakukan agar tidak mengalami penderitaan setelah mati? Apa yang dapat dilakukan oleh yang hidup untuk mereka yang mati? Itu-lah pertanyaan-pertanyaan abadi yang kadang-kadang muncul kembali dalam diri ma-nusia.

     Bagi mereka yang mempelajari masyarakat dan kebudayaan, kematian tidak selalu merupakan peristiwa yang penting. Lebih penting dari itu adalah ritus-ritus (rites) serta berbagai upacara yang menyertainya, atau ritus-ritus kematian yang diselenggarakan oleh mereka yang masih hidup. Kenyataannya, orang yang mati tidak dapat melakukan kegiatan apa-apa. Yang sibuk melakukan kegiatan berkenaan dengan orang yang mati adalah mereka yang masih hidup, dan kesibukan ini tidak berhenti ketika orang yang mati telah dimakamkan. Masih banyak kegiatan lain yang harus dilakukan sehubungan  dengan kematian yang telah terjadi.

     Sudak sejak lama para ahli antropologi menaruh perhatian besar pada ritus-ritus yang diselenggarakan berkenaan dengan kematian, dan adanya berbagai ritus ini yang membuat kita harus membedakan antara ritus kematian dengan ritus penguburan. Ritus penguburan merupakan salah satu bentuk, salah satu bagian atau salah satu ta-hap dari ritus kematian. Ritus penguburan adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan un-tuk mengubur atau menyimpan jenazah orang yang telah mati di suatu tempat tertentu, sedang ritus kematian adalah berbagai kegiatan yang dilakukan berkenaan dengan te-lah meninggalnya seseorang. Pada beberapa sukubangsa ritus kematian terdiri dari beberapa tahap, dan ritus penguburan di situ hanya merupakan tahap awal dari ritus kematian tersebut.

     Pada orang Jawa misalnya, ritus penguburan dapat dikatakan telah selesai ketika jenazah telah dimasukkan ke dalam liang lahat, kubur telah ditimbun kembali dan doa telah dipanjatkan oleh para pelayat sebelum mereka meninggalkan makam. Akan teta-pi ritus kematian belum selesai. Mereka yang hidup, terutama kerabat si mati, masih harus melakukan sejumlah ritus lagi untuk mengiringi ritus penguburan, yang ditujukan untuk membuat si mati lebih baik keadaannya di alam baka. Ada yang kemudian me-nyelenggarakan tahlilan setiap malam selama seminggu. Ada yang kemudian menga-dakan ritus lagi pada malam ke empat puluh. Setelah itu, pada seratus harinya dan se-ribu harinya diselenggarakan lagi ritus, yang diiringi dengan kegiatan memasang kijing (batu nisan). Ritus mengkijing, menempatkan nisan yang permanen pada kubur, meru-pakan tahap ritus kematian yang terakhir pada orang Jawa, yang langsung berhubung-an dengan kubur orang yang telah meninggal.
 
      Oleh karena ritus penguburan berbeda dengan ritus kematian, maka makna dari keduanya juga berbeda. Makna ritus kematian tentunya lebih luas dan lebih kompleks daripada makna ritus penguburan. Simbol-simbol yang tercakup dalam ritus kematian juga lebih banyak. Sementara itu, ritus penguburan dan ritus kematian ini sangat berva-riasi antara sukubangsa satu dengan sukubangsa yang lain. Ini semua membuat upaya untuk melakukan generalisasi tafsir atas suatu ritus kematian menjadi sulit dilakukan. Meskipun demikian, dalam makalah ini saya mencoba untuk menampilkan beberapa tafsir yang dapat kita berikan pada ritus-ritus kematian.

     Dalam hal ini saya menggunakan perspektif struktural untuk membangun tafsir ter-sebut. Salah satu pandangan penting dalam membangun pemaknaan secara struktural adalah pandangan bahwa sesuatu tidak akan “bermakna” apa-apa ketika dia berdiri-sendiri. Sesuatu hanya akan dapat dikatakan sebagai sesuatu jika ditempatkan dalam relasi-relasinya dengan yang lain-lain, yang bukan sesuatu tersebut. Jadi, sebuah pe-maknaan pada dasarnya selalu bersifat struktural, tidak esensial, karena esensi atau “isi” itu sendiri tidak ada. “Isi” terbentuk karena adanya relasi, sehingga “isi” tersebut ti-dak lain adalah relasi. Relasi itulah yang dapat dikatakan sebagai “isi” yang “sebenar-nya”. Relasi-relasi yang dimiliki sesuatu dengan yang lain-lain itulah yang membentuk sebuah struktur, sehingga makna yang hadir selalu relasional atau struktural, atau sela-lu dalam hubungannya dengan yang lain. Oleh karena itu pula, “makna” yang dapat ki-ta berikan pada sesuatu dapat berganti ketika sesuatu tersebut kita tempatkan dalam relasi yang lain lagi.

     Dengan perspektif struktural ini, ritus kematian dapat kita tempatkan dalam relasi-re-lasi dengan yang lain, baik itu ritus maupun bukan, dan dari sini akan muncul makna yang berbeda-beda. Cara analisis seperti ini memungkinkan kita menghadirkan variasi pemaknaan atas suatu fenomena, dan dengan itu pula menghadirkan sebuah kerangka pemaknaan yang lebih komprehensif.

     Di sini saya tidak menggunakan istilah “upacara tradisi kematian”, sebagaimana yang disodorkan kepada saya, karena istilah ini menurut hemat saya kurang tepat. Da-lam antropologi istilah “upacara” (ceremony) berbeda maknanya dengan “ritus” atau rituil, dan istilah “tradisi” berbeda maknanya dengan “tradisional”. Frasa “upacara tradisi kematian” bisa mempunyai dua makna yang sangat berbeda, yakni (a) upacara yang berkaitan dengan “tradisi kematian”, dan (b) upacara tradisional yang berkaitan dengan kematian. Makna yang pertama tidak begitu masuk akal, karena “tradisi kematian” tidak jelas maknanya. Adakah kematian yang menjadi “tradisi”? Makna yang kedua juga ti-dak tepat, karena “upacara tradisional” berbeda dengan “upacara tradisi”. Oleh karena itu, frasa “upacara tradisi kematian” sebaiknya tidak digunakan. Seyogyanya digunakan saja istilah “ritus kematian”.


2. Ritus Kematian : Oposisi Ritus Kelahiran

     Sebuah peristiwa kematian secara struktural dapat kita tempatkan secara oposisio-nal dengan peristiwa kelahiran, dan inilah seringkali yang kita lakukan walaupun secara tidak disadari. Sebuah kelahiran adalah sebuah proses dari tiada menjadi ada. Ke-tika masih berada dalam rahim ibunya, bayi tersebut belum dapat dikatakan bayi. Dia adalah janin. Setelah dia lahir barulah dia disebut bayi. Seorang bayi yang lahir ke du-nia akan dianggap ada ketika dia lahir dalam keadaan hidup, dan ini diketahui antara lain dari tangisan pertamanya. Tangisan di sini adalah tanda hidupnya bayi tersebut. Ji-ka janin lahir dalam keadaan meninggal dia menjadi bayi yang “tidak ada”.

     Kelahiran seorang bayi yang hidup umumnya disambut dengan penuh kegembiraan Memang ada kelahiran-kelahiran bayi yang tidak diiringi dengan sukacita, namun hal semacam ini bukan termasuk kasus yang umum atau merupakan kekecualian. Dalam kehidupan masyarakat yang “normal”, kelahiran seorang bayi merupakan sebuah peris-tiwa yang selalu ditunggu-tunggu, dan ketika bayi telah lahir dengan selamat kerabat-kerabat dekatnya akan sangat senang dengan lahirnya anggota baru kelompok kekera-batan mereka. Sebuah kelahiran adalah juga sebuah pertemuan antara seorang indivi-du dengan orang-orang yang di kemudian hari akan banyak berada di sekelilingnya dan membantunya bertahan hidup di tengah masyarakatnya.
  

 Sebagai oposisi dari kelahiran maka kematian adalah sebuah proses dari ada menjadi tiada. Tidak mengherankan jika orang Jawa sering mengatakan seseorang yang meninggal sebagai “wis ora ana” (sudah tidak ada), untuk menghaluskan kata “mati”, yang sering dirasa kurang begitu pas. “Ora ana” di sini lebih mengacu pada keti-adaan roh, nyawa, dalam tubuh. Artinya, orang yang mati tidak lagi mempunyai nyawa. Nyawa yang semula hadir atau ada dalam tubuhnya, sekarang telah meninggalkan tu-buh tersebut, sehingga tubuh yang semula disebut “manungsa”, kemudian berubah na-manya menjadi “mayit” atau “wong mati”.

     Sebagai mahluk yang diyakini memiliki dimensi rohani dan jasmani, kematian manu-sia juga dapat dilihat menurut dua dimensi ini, sehingga kita dapat mengatakan kemati-an secara rohani, dan kematian secara jasmani. Seseorang yang mengalami koma atau “mati suri” dapat dikatakan sebagai orang yang mati secara rohani. Jasadnya be-lum mati. Jasadnya baru dikatakan mati bilamana jasad tersebut tidak lagi dapat beker-ja, tidak lagi dapat berfungsi.

     Kematian secara jasmani merupakan proses tiadanya roh dalam tubuh manusia, dan ini bisa terjadi secara perlahan-lahan atau mendadak. Orang yang meninggal ka-rena tabrakan, ditembak, ditusuk dan langsung mati -orang Jawa bilang “thek sek”- adalah orang yang mengalami kematian secara mendadak. Di sini nyawa dalam tubuh-nya diyakini meninggalkan tubuh tersebut secara cepat, secara tiba-tiba. Ini berbeda dengan orang yang meninggal secara perlahan-lahan, yang nyawanya meninggalkan tubuhnya dengan lambat. Meskipun demikian, kedua proses tersebut dikatakan seba-gai proses “meninggal” atau proses kematian.

     Kematian berupa perginya ruh dari tubuh biasanya disusul dengan tangisan atau te-tesan air mata mereka yang masih hidup, sebagai tanda kesedihan. Sedihnya hati dari orang yang ditinggal pergi, yang diiringi dengan rasa ngeri dan takut membayangkan apa yang telah dialami oleh orang yang meninggal. Kemudian, biasanya diiringi dengan “ritus” yang “instinktif”, yang alami, yakni mengatur posisi tubuh orang yang m-eninggal (yakni, mata ditutupkan, mulut dikatupkan, tangan disedekapkan, tubuh dite-lentangkan) dan menutupi jenazahnya dengan apa saja yang ada (jika mungkin deng-an kain kafan putih). Ketakutan, kengerian, tangisan, mengatur posisi jenazah dan me-nutupinya adalah “ritus” paling awal menyusul kematian jasmani, yang dilakukan sete-lah nyawa betul-betul terpisah dari tubuh. Tindakan-tindakan ini seringkali tidak dipan-dang sebagai sebuah ritus, tetapi sebenarnya itu adalah ritus yang paling awal setelah kematian terjadi, dan boleh dikatakan ritus yang “instinktif”, namun tetap manusiawi, karena hewan tidak mengenal ritus ini sama sekali.

     Ritus kematian di atas adalah ritus kematian pertama, yang mengiringi ketiadaan nyawa dari sebuah tubuh yang semula hidup. Ritus kematian berikutnya adalah ritus yang mengiringi ketiadaan tubuh secara fisik, dan inilah ritus kematian yang banyak di-bahas oleh para ahli antropologi. Ketiadaan tubuh secara fisik ini terjadi karena tubuh yang telah mati, yang telah kehilangan rohnya, kemudian harus dimasukkan ke suatu tempat tertentu, atau harus dihancurkan dengan cara tertentu. Ritus yang mengiringi ketiadaan secara fisik inilah yang juga banyak dielaborasi, dibuat rumit, dalam banyak kebudayaan, dan karena itu juga menjadi sangat menarik perhatian.

     Pada suatu masyarakat, ritus ini harus dilakukan kurang dari 24 jam setelah nyawa diyakini meninggalkan tubuh. Pada masyarakat lain, ritus ini boleh berlangsung selama dua-tiga hari. Pada masyarakat yang lain lagi, ritus ini boleh berlangsung selama tujuh hari. Tiap-tiap masyarakat memiliki pandangan yang berbeda-beda berkenaan dengan kematian tersebut, sehingga ritus yang mengiringinya juga berbeda-beda. Meskipun demikian, satu hal yang agak umum ditemukan adalah bahwa ritus yang mengiringi ke-tiadaan tubuh secara fisik inilah yang menjadi fokus perhatian banyak masyarakat. Ri-tus penguburan adalah ritus yang dianggap penting pada banyak masyarakat.
 
     Ketiadaan di sini umumnya berlangsung secara bertahap, karena orang harus mem-persiapkan penguburan dan melakukan penguburan dengan mengikuti cara dan prose-dur (tata-urut) tertentu. Orang tidak mungkin melakukan ritus penguburan secara men-dadak sebagaimana halnya tercabutnya nyawa dari tubuh secara mendadak. Ritus pe-nguburan adalah ritus kolektif, ritus sosial, yang pelaksanaannya membutuhkan keha-diran orang-orang lain. Skala dan cakupan ritus ini sedikit-banyak menunjukkan intensi-tas kesedihan yang dialami oleh mereka yang hidup, ketika harus betul-betul berpisah dengan seseorang yang pernah hadir di tengah mereka. Ritus inilah yang merupakan ritus kultural, yang berbeda-beda coraknya antarkebudayaan.

a. Ritus Peralihan “Dari Ada Ke Tiada”

     Ritus kematian yang mengiringi peralihan dari “keberadaan” jasmani menuju ke “ke-tiadaan” jasmani dalam banyak masyarakat tampak lebih luas cakupannya, karena ke-hadiran seseorang dengan jasadnya di tengah masyarakat dirasakan oleh lebih banyak orang. Kesedihan yang terjadi di sini juga lebih bersifat kolektif. Seorang individu sela-ma hidupnya tentu bergaul dengan banyak orang. Pergaulan ini ada yang sangat inten-sif, ada yang biasa saja, ada pula yang renggang, sehingga hubungan antara individu tersebut dengan orang-orang lain juga bervariasi kedekatannya. Ketika dia mati maka ada orang-orang yang merasa sangat kehilangan, ada yang biasa-biasa saja, ada pula yang tidak merasakan. Meskipun demikian, sebagai seorang individu, kehadirannya te-lah dirasakan oleh orang lain, sehingga kematiannya juga akan sangat dirasakan oleh orang lain. Ketika masih hidup kehadirannya begitu dirasakan, ketika dia mati hilang-nya juga sangat dirasakan. Proses menuju ke ketiadaan jasmani ini seringkali dirasa-kan oleh mereka yang memiliki hubungan dekat dengannya, terutama kerabat dan te-man dekatnya, sebagai sangat berat. “Semedhot”, kata orang Jawa. Tidak mengheran-kan apabila ritus untuk mengiringi proses ke ketiadaan jasmani yang selamanya ini se-ringkali begitu lama, karena mereka yang hidup pada dasarnya masih belum ingin ber-pisah dengan yang mati, yang mungkin begitu dicintai ketika masih hidup.

     Kematian sebagai oposisi dari kelahiran adalah juga merupakan sebuah peristiwa perpisahan, dan perpisahan ini tidak hanya sementara, tetapi selamanya. Inilah yang membuat kematian seringkali terasa begitu menyedihkan, karena setelah peristiwa ke-matian, orang tidak tahu sama sekali apakah dia akan dapat bertemu kembali dengan orang yang meninggal tersebut, yang mungkin sangat dicintai, sangat dikagumi, dan sebagainya. Kepastian bahwa yang mati tidak akan pernah hidup kembali, dan ketidak-pastian apakah akan ada pertemuan kembali setelah itu, merupakan dua hal yang membuat suatu kematian sebagai sebuah perpisahan terasa begitu menyedihkan atau menyakitkan. Apalagi jika perpisahan tersebut disertai dengan keyakinan bahwa perte-muan dengan yang telah mati tidak akan pernah terjadi lagi.

     Atas dasar paparan di atas kita dapat membuat perbandingan sebagai berikut.

                                      Kematian =  Dari Ada ke Tiada  :  Perpisahan  : Kesedihan


                                      Kelahiran =  Dari Tiada ke Ada  :  Pertemuan  : Kegembiraan


Kelahiran : Kematian :: Ke Ada : Ke Tiada :: Pertemuan : Perpisahan :: Kegembiraan : Kesedihan


     Mengikuti pandangan para ahli antropologi di masa lalu, kita dapat mengatakan bahwa ritus kematian di sini merupakan ritus peralihan. Namun, berbeda dengan para ahli antropologi tersebut, kita dapat mengatakan bahwa peralihan di sini bukan setelah adanya tahap pemisahan (separation), dan sedang menuju tahap penyatuan (union, unification), tetapi peralihan di sini dari “keberadaan” menuju ke “ketiadaan”, yang me-rupakan lawan dari ritus kelahiran, sedang ritus kelahiran merupakan ritus peralihan dari “ketiadaan” ke “keberadaan”. Kelahiran adalah pertemuan, sedang kematian ada-lah perpisahan. Oleh karena itu, kalau ritus kelahiran diiringi dengan perasaan sukacita maka sebagai oposisinya, sangat masuk akal jika ritus kematian diiringi dengan kese-dihan. Dengan demikian kita dapat mengatakan bahwa ritus kematian -khususnya ritus penguburan- merupakan ritus peralihan dari “ada” menuju “tiada”, secara fisik dan se-cara sosial.


     Dari pembicaraan di atas saya mengemukakan pendapat di sini bahwa ritus kemati-an dapat dan perlu dibedakan menjadi dua, yakni: (a) ritus yang instinktif, dan (b) ritus yang kultural. Ritus kematian yang instinktif merupakan pola-pola perilaku dan tindakan yang dilakukan terhadap jenazah orang yang meninggal, yang muncul karena dorong-an-dorongan yang naluriah untuk memperlakukan jasad orang yang meninggal dengan cara tertentu yang dianggap layak untuk manusia. Walaupun instinktif, namun itu tidak berarti bahwa hewan mempunyai ritus semacam itu. Ritus kematian yang instinktif ini tetap hanya dimiliki oleh manusia.

     Ritus kematian yang cultural merupakan pola-pola perilaku dan tindakan yang dila-kukan untuk meniadakan secara jasmani (fisik) jenazah orang yang meninggal dari tengah kehidupan masyarakat, yang didasarkan pada pandangan-pandangan tentang kedudukan manusia di tengah kehidupan alam nyata, dan relasinya dengan alam yang lain. Ritus inilah yang biasanya banyak dielaborasi dalam banyak kebudayaan, dan merupakan salah satu ritus kolektif yang penting, jika bukan yang terpenting.

     Ritus penguburan sebagai bagian dari ritus kematian merupakan sebuah ritus perpi-sahan yang diiringi dengan kesedihan. Pada tataran yang tidak disadari (nirsadar) ma-nusia sebenarnya mempertentangkan (membuat oposisi) antara ritus kematian dengan ritus kelahiran. Ritus kelahiran dari sudut pandang ini merupakan sebuah ritus perte-muan yang diiringi dengan kegembiraan.


3. Ritus Kematian : Oposisi Ritus Pernikahan

     Dari sudut pandang individu yang lain, terutama bagi pasangan orang yang me-ninggal, kematian sebagai sebuah perpisahan tidak dipertentangkan dengan kelahiran, karena pasangan tersebut mungkin -dan umumnya memang tidak mengetahui- saat-saat kelahiran pasangannya di masa lalu. Bagi pasangannya, kematian seseorang me-rupakan sebuah peristiwa pemisahan yang dipertentangkan dengan peristiwa penyatu-annya, yakni pernikahan.

     Sebagaimana halnya peristiwa kelahiran, peristiwa pernikahan juga akan diiringi de-ngan kegembiraan. Pernikahan adalah sebuah ritus yang menandai atau menyatakan bahwa dua individu telah diakui sebagai pasangan yang boleh melakukan hubungan seksual dan kemudian berhak atau wajib memelihara individu-individu yang lahir dari hubungan seksual tersebut. Kegembiraan atas sebuah pernikahan tidak hanya ada pa-da individu yang mengalami pernikahan tersebut, tetapi juga pada kerabat-kerabat me-reka yang menyetujui, dan mungkin juga telah membuat pernikahan tersebut dapat ter-laksana.

     Ritus pernikahan merupakan ritus penyatuan seorang individu dengan individu lain yang kemudian akan membentuk sebuah keluarga inti atau keluarga batih. Namun, le-bih dari itu, ritus pernikahan adalah juga sebuah ritus yang mempersatukan dua kelom-pok kekerabatan -minimal dua keluarga batih- yang dalam hal ini masing-masing diwa-kili oleh pasangan yang menikah. Ritus pernikahan adalah ritus yang menghubungkan dua kelompok kekerabatan dan membuat keduanya terlibat dalam sebuah persekutuan atau aliansi (alliance).

a. Ritus Kematian : Ritus Peralihan “Dari Penyatuan ke Perceraian”

     Dalam relasinya dengan pernikahan, kematian merupakan lawannya. Jika pernikah-an adalah sebuah penyatuan, maka kematian adalah sebuah pemisahan. Jika perni-kahan selalu diiringi dengan kegembiraan, maka kematian selalu diiringi dengan kese-dihan. Kematian juga dapat membuat hubungan dua kelompok kekerabatan yang se-mula erat, karena salah seorang anggotanya menjadi pasangan dari anggota kelompok yang lain, menjadi longgar. Ritus kematian dengan demikian merupakan ritus yang me-nandai sebuah perpisahan, sebuah keterputusan hubungan di antara dua individu, dan kadang-kadang di antara dua kelompok kekerabatan. Ritus kematian adalah sebuah ritus perceraian.
 

     Atas dasar uraian di atas kita dapat membuat sebuah rumusan sebagai berikut.

Pernikahan  =  terjalinnya hubungan di antara dua individu; dua kelompok kekerabatan :

                         diiringi dengan kegembiraan

 

Kematian     =  keterputusan hubungan di antara dua individu; dua kelompok kekerabatan :

                         diiringi dengan kesedihan


                                                      Pernikahan  :  Kematian
                                    Terjalinnya Hubungan  :  Terputusnya Hubungan
                                                   Kegembiraan  :  Kesedihan


4. Ritus Kematian : Ritus Penandaan Pergantian Alam Kehidupan

     Sebagaimana telah saya katakan di atas, ritus kematian berbeda dengan ritus pe-nguburan. Ritus kematian bisa mencakup beberapa ritus, salah satu di antaranya ada-lah ritus penguburan. Dari perspektif orang yang mati, kematian adalah perpindahan dari alam nyata ke alam ghaib; dari alam yang tampak ke alam yang tidak tampak. Ka-dang-kadang dikatakan bahwa kematian merupakan sebuah peristiwa peralihan dari dunia manusia ke dunia roh; dunia orang yang hidup ke dunia orang yang telah mati.

     Sementara itu, dari perspektif semiotik, sebuah ritus kematian pada dasarnya ada-lah sebuah tanda (sign) yang menandai peralihan-peralihan di atas. Ritus tersebut ber-fungsi menandai, memberi tanda, karena dengan adanya ritus tersebut sebuah tanda telah ditegakkan, sebuah tanda telah didirikan, dan tanda ini memisahkan alam nyata dengan alam ghaib, alam kehidupan dengan alam kematian. Ketika sebuah ritus kema-tian diselenggarakan, ritus tersebut menandai, menyatakan, bahwa seorang individu te-lah berpindah dari alam manusia ke alam roh, dari alam nyata ke alam ghaib.

     Ritus penguburan merupakan ritus kematian yang menandai pergantian dari alam kehidupan ke alam kematian. Dengan ritus penguburan tersebut orang yang dikubur di-tandai sebagai orang yang telah mati; bahwa dia telah berganti alam kehidupan, dari alam manusia yang hidup ke alam roh orang yang telah mati.

Ritus kematian

                                                                                      |

  V

Alam orang yang hidup  ----------->  alam roh orang mati



     Selanjutnya, sebuah kematian juga seringkali dikatakan meliputi perpindahan dari alam roh ke alam kelanggengan, keabadian. Pada sejumlah sukubangsa di dunia, roh orang yang meninggal pertama-tama diyakini memasuki alam roh. Di sini roh masih bergentayangan di kalangan manusia, tetapi karena alam yang berbeda, mereka tidak terlihat. Hanya kadang-kadang saja mereka muncul dan terlihat oleh manusia, dan ka-dang-kadang mengganggu. Kemunculan ini biasanya dirasakan sangat mengganggu ketenteraman mereka yang masih hidup. Tidak jarang mereka yang masih hidup mera-sa ketakutan jika bertemu dengan roh orang yang telah meninggal, walaupun ketika masih hidup orang yang meninggal tersebut mungkin termasuk salah seorang yang pa-ling dicintai, dikagumi. Roh-roh yang gentayangan semacam ini dikatakan belum me-masuki alam kelanggengan

     Agar roh-roh orang yang meninggal ini tidak bergentayangan dan menimbulkan ke-takutan di kalangan mereka yang hidup, diadakanlah ritus-ritus yang dianggap akan dapat mengantarkan roh-roh tersebut ke alam yang lain lagi, alam kelanggengan, yang akan membuat roh-roh tersebut tidak lagi bergentayangan mengganggu manusia. Ritus kematian yang diadakan di sini tidak merupakan penanda pergantian dari alam manu-sia hidup ke alam roh orang mati, tetapi penanda pergantian dari alam roh orang mati ke alam kelanggengan, ke alam keabadian. Ritus semacam ini terlihat misalnya di ka-langan orang Dayak di Kalimantan, orang Toraja di Sulawesi Selatan, dan orang Bali.
 

 

 

Ritus kematian

|

V

Alam roh orang mati  -----------> alam kelanggengan


     Dilihat dari perspektif semiotis, ritus kematian adalah sebuah ritus penandaan (rites of signification), yang menandai peralihan-peralihan alam yang dijalani oleh roh orang yang meninggal, dan sekaligus juga mengganti “identitas” dari roh tersebut. Ka-lau pada mulanya roh tersebut dikatakan sebagai “roh orang hidup”, setelah ritus ke-matian diselenggarakan, roh tersebut bernama “roh orang yang mati”, yang kemudian juga disebut “roh yang mengembara” atau “roh pengganggu”, jika roh tersebut kadang-kadang menampakkan dirinya kepada mereka yang masih hidup dan menimbulkan ke-takutan. Ritus kematian yang lain kemudian perlu diadakan untuk menandai pergantian alam kehidupan dari roh tersebut, dari alam roh menuju ke alam kelanggengan. Deng-an pergantian alam ini, yang ditandai dengan ritus kematian, roh yang mengembara ke-mudian berganti identitasnya menjadi “roh yang telah menetap”, yang tidak lagi menim-bulkan ketakutan di kalangan mereka yang hidup.

5. Ritus Kematian : Ritus Pemberian, Ritus Pertukaran, Ritus Integrasi Sosial

     Jika diperhatikan dengan seksama dan direnungkan, sebuah ritus kematian sebe-narnya ditujukan tidak hanya untuk orang yang mati, tetapi juga untuk mereka yang masih hidup. Pada banyak analisis mengenai ritus kematian dikatakan bahwa ritus ke-matian dimaksudkan sebagai proses mengantar individu yang mati, roh orang yang meninggal ke alam yang berbeda, sehingga ritus kematian pada umumnya ditafsirkan sebagai sesuatu yang diberikan kepada orang yang telah meninggal. Pada saat dilaku-kan penguburan si mati tidak hanya sekedar dikubur. Beberapa peninggalan arkeologis menunjukkan bahwa di masa lampau manusia sudah menyertakan “bekal kubur” untuk si mati. Bekal kubur ini berbagai macam bentuknya, dan ritus kematian yang rumit  ditemukan misalnya pada bangsa Mesir kuno, yang membangun piramida megah se-bagai makam dari raja-raja mereka yang telah meninggal. Pandangan-pandangan filo-sofis orang Mesir kuno sangat mewarnai proses pembuatan piramida tersebut.

     Bekal kubur tidak hanya berupa segala sesuatu yang fisik, tetapi juga yang non-fi-sik, sebagaimana terlihat pada penguburan jenazah orang Islam. Orang Islam yang meninggal akan dikubur tanpa “bekal” dalam bentuk benda-benda fisik. Berbeda deng-an mereka yang beragama Katholik, yang ketika akan dimakamkan dibusanai sebaik mungkin, dan keadaan jenazah dibuat sebagus mungkin, pada orang Islam busana ini hanya berupa kain kafan yang membungkus seluruh tubuh dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ketika jenazah diturunkan ke liang lahat, tidak ada di situ bekal kubur dalam bentuk barang-barang. Meskipun demikian, hal itu tidak berarti si mati tidak tidak men-dapat bekal dari yang hidup. Setelah kubur ditutup dan ditimbun tanah, para pengantar jenazah terlebih dulu memanjatkan doa bersama-sama, dipimpin oleh seorang modin (kalau di desa) atau seorang tokoh masyarakat yang tahu tentang upacara pemakam-an. Doa inilah bekal yang diberikan oleh yang hidup kepada yang mati.

     Jika diamati dengan lebih seksama dan mendalam ritus kematian tersebut ternyata dilakukan bukan hanya untuk si mati, tetapi juga untuk yang hidup, yakni keluarga yang ditinggalkan. Dalam upacara kematian, keluarga yang berduka-cita, yang anggotanya meninggal biasanya tidak terlibat dalam kegiatan upacara pelepasan jenazah. Mereka yang menjalankan tugas melepas jenazah biasanya adalah tetangga, pengurus kam-pung, atau sahabat-sahabat dekat. Ada semacam kesepakatan tidak tertulis bahwa ke-luarga yang tengah mendapat musibah harus ditolong sebaik-baiknya, harus diringan-kan bebannya. Pertolongan untuk meringankan beban ini biasanya berupa kegiatan pengurusan jenazah dan penyiapan pemakaman, termasuk penyiapan kuburnya. Ang-gota keluarga yang berduka diusahakan tidak lagi terlibat dalam kesibukan-kesibukan ini. Para tetangga dan sahabatlah yang akan membereskan semuanya. Ritus kematian di sini merupakan sebuah ritus pertolongan yang dilakukan untuk meringankan beban mereka yang hidup, tetapi mendapat musibah.

 
  Mereka yang mengenal keluarga yang mendapat musibah tetapi tidak dapat berpar-tisipasi dalam kegiatan pengurusan jenazah, namun ingin turut meringankan beban ke-luarga tersebut dapat memberikan “uang duka”, yang dimasukkan dalam amplop dan kemudian akan dimasukkan ke dalam kotak yang biasanya ditempatkan di dekat pintu masuk rumah keluarga yang berduka. Setelah upacara pemakaman selesai, tamu-ta-mu telah pulang, dan keluarga yang berduka telah berkumpul kembali, kotak ini akan dibuka. Acara pembukaan kotak sumbangan “uang duka” ini mungkin merupakan salah satu acara yang cukup menghibur keluarga yang berduka tersebut, setelah saat-saat yang melelahkan dan menyedihkan berlalu. Satu persatu amplop dibuka. Nama pe-nyumbang dan besarnya sumbangan akan dicatat. Di lain waktu, di masa yang akan datang, ketika ada tetangga yang meninggal, catatan ini akan dibuka kembali untuk di-lihat besarnya sumbangan yang telah diberikan oleh tetangga yang meninggal ini, dan ini akan turut menentukan besarnya sumbangan yang kini akan diberikan kepada kelu-arganyaa.

     Fenomena semacam ini terjadi tidak hanya pada sebuah keluarga tetapi pada ba-nyak keluarga di Yogyakarta. Kegiatan menyelenggarakan pengurusan jenazah, penyi-apan upacara pemakaman, penyiapan makam, penerimaan tamu yang datang, penga-turan parkir para tamu, yang dilakukan oleh banyak orang sebagai bantuan kepada ke-luarga yang berduka merupakan elemen-elemen penting dalam ritus kematian. Tanpa itu semua ritus kematian tidak akan berjalan dengan baik dan lancar. Sumbangan be-rupa uang duka dari banyak pihak juga merupakan bantuan yang ditujukan untuk me-ringankan beban keluarga yang mendapat musibah. Sebuah ritus kematian mencakup unsur-unsur ini semua, yang merupakan sebuah “pemberian” dari orang lain kepada keluarga yang tengah berduka.

     Di lain waktu, ketika ada orang lain yang meninggal, keluarga yang pernah menda-pat musibah dan mendapat bantuan dari tetangga-tetangga dan dari teman-temannya ini, kemudian akan ganti membantu keluarga dari orang yang meninggal tersebut. Wa-laupun kelihatannya semua berjalan tanpa diiringi dengan catatan-catatan resmi, na-mun orang atau warga masyarakat umumnya akan mencatat siapa-siapa yang telah datang melayat. Seseorang yang sangat jarang terlihat dalam kegiatan membantu ke-luarga yang anggotanya meninggal biasanya akan dirasani, menjadi bahan omongan. Salah satu rasan-rasan yang paling sering terdengar adalah, “Yen mati arep ngubur dhewe pa?” (Kalau mati apa akan mengubur diri-sendiri?). Oleh karena itu, orang akan selalu berusaha untuk bisa datang melayat jika ada tetangga yang meninggal. Jika dia tidak bisa, salah satu anggota keluarga akan diminta datang sebagai “wakil” keluarga.

     Dilihat dari perspektif ini sebuah ritus kematian dilakukan tidak hanya untuk si mati, tetapi juga untuk yang masih hidup. Sebuah ritus kematian di sini merupakan sebuah pemberian (gift-giving) dari yang hidup kepada yang mati, dan dari yang hidup kepada yang hidup. Sebuah ritus kematian adalah juga sebuah ritus gift-giving. Gift-giving merupakan salah satu momen atau episode dalam sebuah rangkaian pertukaran yang melibatkan banyak pihak, yang oleh Lévi-Strauss dikatakan sebagai generalizsed ex-change (pertukaran meluas). Oleh karena itu pula, sebuah ritus kematian pada dasar-nya adalah sebuah ritus pertukaran sosial (rites of social exchange) tidak hanya an-tara yang hidup dengan yang mati, tetapi juga antara yang hidup dengan yang hidup.

     Sebuah pertukaran meluas merupakan pertukaran yang selalu terbuka untuk diikuti oleh siapapun, karena dalam pertukaran ini jumlah mereka yang terlibat bisa tidak ter-batas. Di sini apa yang diberikan tidak serta-merta dibalas kembali dengan pemberian yang lain. Pertukaran di sini berjalan tidak langsung satu lawan satu, tetapi berjalan se-cara tidak langsung. Seseorang bisa memperoleh pemberian pada saat ini, dan dia bo-leh memberikannya kembali pada saat yang lain, dalam wujud yang lain, kepada orang yang lain pula. Sementara itu, orang yang telah memberinya mungkin akan mendapat gantinya di lain waktu, dalam bentuk yang lain, dari orang yang lain lagi. Pertukaran se-macam inilah yang telah membuat integrasi sosial menjadi semakin kuat. Oleh karena itu, ritus kematian juga merupakan sebuah ritus integrasi sosial, sebuah ritus yang dapat memperkokoh ikatan-ikatan, relasi-relasi sosial antrawarga-masyarakat.
 
6. Penutup

     Dalam makalah ini saya telah mencoba menunjukkan bahwa ritus kematian meru-pakan sebuah gejala sosial-budaya yang dapat dilihat dari berbagai macam perspektif, yang kemudian menghasilkan tafsir yang berbeda-beda atas gejala tersebut. Jika dite-laah dengan seksama, ritus kematian dapat dibedakan menjadi dua, yakni yang (a) ins-tinktif, dan yang (b) cultural. Ritus yang pertama lebih bersifat naluriah, namun tetap manusiawi, artinya hanya dikenal oleh manusia, sedang ritus yang kedua merupakan ritus yang dipandang penting oleh setiap sukubangsa di dunia. Ritus inilah yang biasa-nya dielaborasi menjadi ritus yang rumit dan canggih pada masyarakat-masyarakat ter-tentu.

     Ritus kematian merupakan sebuah ritus yang terdiri dari beberapa ritus lagi yang lebih kecil, yang membentuk sebuah rangkaian dan merupakan suatu kesatuan. Meski-pun demikian, ritus kematian sebenarnya tidak dapat dipandang sebagai sebuah feno-mena yang berdiri sendiri. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia pada dasarnya me-nempatkan ritus kematian dalam hubungan dengan ritus-ritus yang lain, terutama yang bersifat oposisional dengannya. Di sini ritus kematian dipertentangkan, pertama, deng-an ritus kelahiran, dan kedua, dengan ritus pernikahan. Dalam oposisinya dengan kela-hiran, yang merupakan sebuah pertemuan, kematian merupakan sebuah perpisahan, sehingga ritus kematian adalah sebuah ritus perpisahan, yang berlawanan dengan ri-tus pertemuan. Dalam oposisinya dengan pernikahan, yang merupakan sebuah penya-tuan, kematian adalah sebuah perceraian, sehingga ritus kematian adalah ritus perce-raian yang berlawanan dengan ritus pernikahan yang merupakan ritus penyatuan.

     Dari perspektif semiotis, sebuah ritus adalah sebuah penandaan. Ritus kematian di sini juga merupakan sebuah ritus penandaan. Ritus ini menandai peralihan roh atau nyawa dari dunia orang hidup, menuju dunia orang mati, dan kemudian menandai per-alihan dari dunia roh orang mati menuju dunia yang langgeng atau alam kelanggengan. Dengan menandai peralihan dunia hunian roh tersebut, ritus kematian juga menandai pergantian identitas roh tersebut, dari roh orang yang hidup menjadi roh orang yang mati, yang mengembara, dan dari roh orang yan mati menjadi roh yang menetap.

     Sebuah ritus kematian pada dasarnya dilakukan tidak hany untuk orang yang mati, tetapi juga untuk mereka yang hidup. Di sini ritus kematian merupakan jasa yang dibe-rikan kepada si mati dan kepada keluarga si mati. Jadi ritus kematian adalah sebuah ritus pemberian, dan itu berarti pula bahwa ritus kematian adalah sebuah ritus pertukar-an sosial yang bersifat meluas (generalized). Sebuah pertukaran sosial merupakan se-buah aktivitas yang memperkokoh integrasi sosial. Oleh karena itu, sebuah ritus kema-tian adalah juga sebuah ritus integrasi sosial (rites of social integration).




ooooo