Dalam adat kebiasaan yang berkembang di negara kita Indonesia rasa sungkan kepada orang yang dihormati baik kepada orang yang lebih tua ataupun seorang yang dikagumi sebagaimana atasan atau pujaan, adalah suatu hal yang biasa. Sehingga dalam tradisi rasa ‘sungkan’ tersebut terkadang mereka melakukan hal-hal yang mungkin bisa kita katakan agak kurang wajar, mengingat terkadang orang yang dikagumi semisal ‘atasan’ terkadang berusia jauh lebih muda. Diantara kebiasaan yang banyak dilakoni oleh masyarakat kita sebagai cara untuk mengikat rasa persaudaraan dan hubungan baik adalah saling memberi hadiah satu sama lain, terlebih menjelang hari-hari besar keagamaan semisal Iedul Fitri atau Natal. Hadiah atau yang lebih banyak di kenal dengan istilah parcel adalah salah satu bentuk cara untuk mengungkapkan empati dan rasa menghargai kepada orang lain.
Budaya sungkan bagi seorang yang lebih muda, atau memiliki derajat kedudukan yang lebih rendah secara sosial pada hakikatnya adalah suatu hal yang biasa. Akan tetapi lebih sialnya, ketika berkembang muncul berbagai kebiasaan yang telah menjadi sebuah adat tentang perilaku moral orang Indonesia yang sangat suka untuk merasa ‘di-orangkan’ atau ‘dihormati’ dalam status kehidupan sosial. Hal ini sangatlah wajar, mengingat sekian abad masyarakat kita dikenalkan dengan tradisi menjilat oleh kaum penjajah, sehingga bagi siapa saja yang ‘merasa’ dekat dengan penguasa atau atasan, ia merasa lebih tinggi derajat dan kedudukan sosial dibandingkan dengan orang lain yang tidak semisalnya. Akibatnya, ia akan selalu minta untuk dihormati, ‘di-ajeni’, oleh komunitas yang dianggap olehnya memiliki kedudukan ‘lebih rendah’ baik dalam status sosial ataupun masalah usia.
Akibat lain yang ditimbulkan bagi orang yang berada di bawah ia akan memiliki sebuah anggapan apabila ingin diperhatikan dan dihormati maka ia harus dekat dengan orang yang berada di atasnya bagaimanapun caranya. Akhirnya budaya ‘simbiosis mutualisme’ dalam dunia suap dan menjilat senantiasa hidup harmonis dan beriringan tangan dalam meniti kehidupan bahkan ada kemungkinan akan senantiasa di warisi oleh sekian banyak generasi berikutnya.
Islam mengajarkan sebuah tradisi untuk saling menghormati antara sesama baik dalam lingkup masyarakat yang sesama iman (Islam), ataupun kepada antar manusia siapapun dia dan bagaimanapun derajat yang dimiliki dalam status sosial. Dijelaskan dalam sebuah riwayat yang masyhur dimana Rasulullah SAW bersabda yang artinya :”Bukanlah diantara umatku apabila ada anak muda yang tidak bisa menghormati orang yang lebih senior dalam usia dan keintelektualan, dan kebalikannya apabila ada senior yang tidak bisa menyayangi orang yang lebih muda usia atau keintelektualan”. Isyarat dari hadits Nabi di atas sangat jelas sekali bagaimana beliau memberikan gambaran pendidikan sosial yang seimbang dalam aplikasi kehidupan bermasyarakat. Bagi orang yang merasa dirinya lebih muda (baik dalam kapasitas usia ataupun intelektualitas) hendaknya menghormati orang yang lebih senior, demikian kebalikannya bagi yang merasa lebih senior hendaknya menyayangi orang yang lebih muda darinya sebagai salah satu bentuk perhatiannya. Keseimbangan dalam bersikap dan memperlakukan orang lain sebagaimana ajaran Nabi tentunya akan membawa tatanan kehidupan sosial yang indah dan nyaman. Bagaimana tidak, yang merasa lebih tua akan senantiasa menyayangi yang lebih muda usia dan intelektual karena anak-anak muda sangat hormat dan sayang kepada mereka (yang lebih tua). Kebalikannya, yang lebih muda akan senantiasa menghormati yang lebih senior, mengingat yang lebih senior memperlakukan yang lebih muda dengan perhatian dan kasih sayang….
Pendidikan yang diberikan oleh Rasulullah SAW beberapa abad yang lalu dalam memberikan keseimbangan dan keharmonisan kehidupan sosial, sesungguhnya bisa kita lihat dalam pendidikan non formal yang diberikan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala dalam perilaku alam . Mungkin kita bisa melihat dalam satu contoh kecil tentang perilaku air yang mengalir secara alami. Air adalah contoh kecil bahkan kita senantiasa melihat air dalam kehidupan sehari-hari, akan tetapi kurangnya dan keterbatasan pencernaan akal menyebabkan kita lalai untuk belajar dan belajar. Air secara alamiah mengalir dari dataran yang lebih tinggi kemudian mengairi kawasan yang lebih rendah. Dalam aliran tersebut, ia memberikan sekian banyak manfaat kepada siapa saja yang berada di bawahnya, kesuburan tanah dan lahan pertanian, memberikan bantuan sarana kehidupan bagi makhluk yang lain (manusia, hewan, tubuhan). Inti pelajaran adalah cucuran air yang mengalir dari yang lebih atas menuju yang lebih bawah, yang lebih tinggi kedudukannya memberikan sekian banyak manfaat dan kegunaan bagi siapa saja yang berada di bawahnya.
Inti pelajaran dalam cucuran air di atas paling tidak memberikan gambaran jelas kepada kita bersama bahwasanya secara ‘tradisi alam’ alias ‘kodrat alam’, siapa saja yang berada di atas hendaknya bisa memberikan sekian banyak manfaat dan kegunaan terhadap siapa saja yang berada di bawah dirinya. Dalam arti kata lain kebiasaan minta ‘di-orangkan’ atau kebiasaan harus ‘meng-orangkan’ apabila kita aplikasikan dalam budaya parcel/hadiah hendaknya segera di rubah. Kalau dahulu yang merasa tinggi tidak akan memberikan manfaat dan perhatian kepada siapa saja yang berada di bawahnya selama tidak memberikan sedikit perhatian misalnya ‘parcel’ kepada dirinya. Mungkin lebih tepat apabila saat ini tradisi tersebut sedikit dirubah, bagi yang merasa tinggi memberikan hadiah/reward kepada siapa saja yang berada di bawahnya. Sebagai rasa empati, perhatian, kasih sayang kepada yang kurang, dan memberikan motivasi lebih dalam agar yang berada di bawah lebih memberikan sumbangsih dalam kinerja dan prestasi.
Bagi yang merasa di bawah, agar ditanamkan rasa tanggung jawab moral bahwa ia memiliki tugas besar yang harus diselesaikan dengan baik dan benar. Sebagai konsekuensinya apabila ia menyelesaikan dengan baik tugas tersebut, tentunya perhatian dan empati layak ia dapatkan dari sang atasan. Semoga bermanfaat…