oleh
Martinus Miroto
(Seminar-workshop
Desa Bina Budaya, 18 Mei 2010)
Marilah kita amati foto di atas. Sebuah adegan
penyembelihan boneka pengantin pria yang terbuat dari tepung beras ketan dan
dilengkapi ‘darah’ yang terbuat dari sirup gula kelapa dalam upacara Bekakak
yang juga disebut Upacara Saparan Gamping. Setelah didoakan, leher ‘pengantin’ digorok
dengan keris dan ‘darah’pun tertumpah membasahi lantai altar. Tidak hanya
sampai di situ. Tubuhnya pun dipotong-potong, disebar ke berbagai penjuru,
diperebutkan para pengunjung untuk dibawa pulang sebagai berkah. Dramatis bukan?
Mengapa upacara perlu dramatis? Perlukah menggarap aspek koreografi dalam
upacara adat?
PENDAHULUAN
Koreografi
adalah seni menata gerak. Salah satu sumber penataan gerak adalah fenomena
upacara adat yang dilakukan masyarakat tertentu. Misalnya upacara Bekakak di
Gamping. Kirap atau arak-arakan boneka pengantin (Bekakak) dan Gendruwo yang
disertai seni Jathilan dll, merupakan salah satu aspek koreografi. Sedangkan
adegan dramatis yang cukup mencengangkan adalah saat menyembelih Bekakak.
Upacara Bekakak
terjadi karena factor realitas masyarakat Gamping dalam mengatasi rasa takut
terhadap ‘kekuatan yang tidak nampak’ pada abad 17. Dalam perkembangannya, uapacara ini direka
sehingga menjadi ‘seni’ pertunjukan yang unik yang mengandung aspek koreografi
dan drama.
Menggarap
koreografi dan drama dalam upacara, koreografer
atau sutradara perlu memahami asal – usul upacara itu sendiri.Misal,
mengapa dalam Upacara Bekakak perlu ada
simbol korban? Mengapa disertai Gendruwo dalam arak-arakan?
I. Kisah Terjadinya Upacara Bekakak.
Dapat
dibayangkan, pada abad 17, di Gunung
Gamping belum ada lampu dan listrik yang menerangi jalan yang gelap pada malam
hari. Tentu orang merasa takut dan merinding jika melewati jalan-jalan yang
gelap gulita dimalam hari. Saat itu pula naluri transendental muncul: orang
mohon kepada ”Kekuatan Yang Tidak Nampak” agar tidak terjadi apa-apa saat
melintasi jalan tersebut. Ditambah
ceritera tentang mahkluk halus yang
menakutkan: Gendruwo, Wewe, Banaspati, Wedhon, Thuyul, Glundhung pringis,
Dhemit, Setan, Peri, Jrangkong, Ting ijo, dll.
Suasana saat itu menjadi lebih menakutkan
ketika pada bulan Sapar tiba-tiba Gunung Gamping runtuh dan memakan korban Ki
Wirosuto dan keluarganya. Berita kematian Ki Wirosuto tersebar ke seluruh
wilayah Gamping. Ki Wirosuto dipercayai menjadi korban keganasan mahkluk halus
di Gunung Gamping. Hal ini mengakibatkan ketakutan masyarakat Gamping yang hidup
dari penggalian dan pembakaran batu kapur dari Gunung Gamping.
Untuk melawan rasa takut untuk melanjutkan
pekerjaan menambang batu kapur di Gunung Gamping, masyarakat Gamping
menciptakan kurban yang disebut Bekakak. Bekakak berarti korban penyembelihan
hewan atau manusia. Bekakak pada saparan ini hanya tiruan manusia saja, berujud
boneka pengantin dengan posisi duduk bersila yang terbuat dari tepung ketan. Dalam
rangkaian upacara ini, Bekakak digorok lehernya sebagai kurban. Keunikan
prosesi upacara ini juga muncul dengan diwujudkannya boneka rasaksa Gendruwo
dan Wewe yang selalu menjadi daya tarik kirap sepanjang 5km.
Upacara Saparan ini tergolong rumit dan
kolosal yang melibatkan aspek ritual, seni, dan social. Namun demikian, tulisan
ini akan membatasi pembahasan mengenai aspek koreografi dan dramaturgi dalam
Upacara Bekakak yang barangkali dapat memicu diskusi lebih luas dalam mengamati
seni upacara di berbagai tempat di Yogyakarta.
II. Upacara Bekakak: Peninggalan Seni / Budaya
Primitif?
Berdasarkan
data yang diperoleh dari internet, seni
primitif merupakan hasil karya manusia yang selalu berkaitan dengan alam,
binatang, burung, dan upacara persembahan. Seni primitive bertujuan untuk berkomunikasi
dengan kekuatan yang tidak nanpak (communicating with unseen forces) dan
menciptakan sesuatu yang misterius menjadi lebih konkrit dalam kehidupan (Makes
mysterious more real life). (www.csuchico.edu)
Mengacu
pada teori di atas, setidaknya ada tiga hal yang mendukung bahwa Upacara
Bekakak merupakan produk budaya primitive: 1. Upacara Bekakak berkaitan dengan
upacara persembahan. 2. Upacara Bekakak diselenggarakan dengan tujuan untuk
berkomunikasi dengan ‘kekuatan yang tidak nampak’. 3. Rangkaian Upacara Bekakak
menyajikan sesuatu yang misterius menjadi lebih konkrit dalam kehidupan.
- Upacara
Bekakak berkaitan dengan persembahan yang diwujudkan lewat sesaji.
Dalam upacara ini dipersembahkan berbagai macam rangkaian
sesaji.:
- Sesaji untuk
pelangkap upacara Sugengan Ageng
Sesaji ditaruh di dalam sudhi, gelas, kemudian ditaruh
di atas jodhang antara lain sekul wajar (nasi ambeng) dengan lauk pauk: sambel
goreng waluh, tumis buncis, rempeyek, tempe garing, bergedel, entho-entho dan
sebagainya, sekul galang lutut, sekul galang biasa, tempe rombyong yang ditaruh
dalam cething bambu, tumpeng megana, sanggan (pisang raja setangkep), sirih
sepelengkap, jenang-jenangan, rasulan (nasi gurih), ingkung ayam, kolak, apem,
randha kemul, roti kaleng, jadah bakar, emping, klepon (golong enten-enten),
tukon pasar, sekar konyoh, kemenyan, jlupak baru, ayam hidup, kelapa,
sajen-sajen tadi ditempatkan dalam sudhi lalu semuanya diletakkan dalam lima
ancak, dua ancak diikutsertakan dalam jali dibagikan kepada mereka yang membuat
kembar mayang, bekakak dan yang menjadikan tepung (glepung) sementara itu
disiapkan pula burung merpati dalam sangkar.
- Sesaji untuk
Bekakak
Dua bagian yang lain, masing-masing diletakkan di dua
jali tempat dua pasang pengantin bekakak. Macam-macam sesajen yang diletakkan
bersama-sama pengantin bekakak antara lain nasi gurih (wuduk) ditempatkan dalam
pengaron kecil: nasi liwet ditempatkan dalam kendhil kecil beserta rangkaiannya
daun dhadhap, daun turi, daun kara yang direbus, telur mentah dan sambal gepeng:
tumpeng urubing dhamar, kolak kencana, pecel pitik, jangan menir, urip-uripan lele,
rindang antep, ayam panggang, ayam lembaran, wedang kopi pahit, wedang kopi
manis, jenewer, rokok/cerutu, rujak degan, rujak dheplok, arang-arang kemanis,
padi, tebu, pedupaan, candu (impling), nangka sabrang, gecok mentah, ulam
mripat, ulam jerohan, gereh mentah.
Berbagai macam sesaji tersebut disertakan dalam seluruh
rangkaian upacara: Midodareni, Kirab Bekakak, Penyembelihan Bekakak, dan
Sugengan Ageng. Sesaji yang merupakan wujud dari persembahan dalam Upacara
Bekakak menjadi bagian penting yang tak dapat dipisahkan dengan upacara Saparan
ini.
- Upacara
Bekakak diselenggarakan dengan tujuan untuk berkomunikasi dengan ‘kekuatan
yang tidak nampak’ (communicating with unseen forces).
Bekakak berarti korban penyembelihan hewan atau manusia.
Bekakak pada saparan ini hanya tiruan manusia saja, berujud boneka pengantin
dengan posisi duduk bersila yang terbuat dari tepung ketan, merupakan simbol
sepasang temanting yang dikurbankan bagi keselamatan masyarakat.
Penyelenggaraan upacara Bekakak bertujuan untuk menghormati
arwah Kiai dan Nyai Wirosuto sekeluarga yang meninggal terkubur oleh reruntuhan
Gunung Gamping. Masyarakat sekitar meyakini bahwa jiwa dan arwah Ki Wirosuto
tetap ada di Gunung Gamping. Kiai Wirosuto adalah abdi dalem penongsong, pembawa
payung kebesaran Sri Sultan Hamengku Buwana I.
Menurut legenda, upacara Bekakak bermula
akibat musibah yang menimpa Ki Wirosuto dan keluarganya
pada masa pembangunan Kraton Jogja. Ki Wirosuto adalah satu dari tiga
bersaudara dengan Ki Wirojombo, dan Ki Wirodono yang merupakan abdi dalem HB I
yang sangat dikasihi. Ketiga abdi dalem erat hubungannya dengan peristiwa
lolosnya HB I dari Kraton Solo saat melawan Belanda.
Pada tahun 1755, Kraton Jogja dibangun oleh Sri Sultan
HB I. Ketika pembangunan sedang berlangsung, para abdi dalem tinggal di
pesanggrahan Ambarketawang, kecuali Ki Wirosuto yang memilih tinggal di sebuah
gua di Gunung Gamping. Pada bulan purnama, antara tanggal 10 dan 15, pada hari
Jumat, terjadi musibah. Gunung Gamping longsor. Ki Wirosuto dan keluarganya
tertimpa longsoran dan dinyatakan hilang karena jasadnya tidak ditemukan.
Hilangnya Ki Wirosuto dan keluarga di Gunung Gamping ini
menimbulkan keyakinan pada masyarakat sekitar bahwa jiwa dan arwah Ki Wirosuto
tetap ada di Gunung Gamping. Ki Wirosuto memiliki 4 putra dan putri yang
terdiri Raden Bagus Gombak, Raden Bagus Kuncung dan Embok Roro Ambarsari serta
Ambarsekar serta 2 pembantu yang dikenal sebagai Kyai dan Nyai Brengkut.
Kedua putranya menguasai semua kekayaan yang tumbuh di Gunung
Gamping. Sedang kedua putrinya menguasai air dan bunga-bunga. Adapun
pembantunya juga mendapatkan kekuasaan, yaitu menjaga pembakaran batu gamping
yang dilakukan penduduk. Ketika terjadi musibah itu, 3 binatang kesayangannya
(merpati memakai sawangan, puyuh bergelang emas dan landak berkalung sapu
tangan merah) serta seorang wanita penduduk setempat selamat.
Semenjak itu, penduduk yang akan memanfaatkan batu-batu
gamping pun dipercaya harus mendapatkan ijin dari Ki dan Nyi Wirosuto. Upacara
Saparan yang sekarang ini adalah untuk mendapatkan selamat dari Ki Wirosuto
sekeluarga. Upacara Saparan semula bertujuan untuk menghormati kesetiaan Ki dan
Nyi Wirosuto kepada Raja HB I. Tapi kemudian berubah dan dimaksudkan untuk
mendapatkan keselamatan bagi penduduk yang mengambil batu gamping agar
terhindar dari bencana. Sebab pengambilan batu gamping cukup sulit dan
berbahaya (www.disbudpar-diy.go.id).
Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Upacara Bekakak diselenggarakan
untuk berkomunikasi dengan ‘kekuatan yang tidak nampak’ (communicating with
unseen forces) yang merupakan salah satu ciri seni primitive.
- Rangkaian
Upacara Bekakak menyajikan sesuatu yang misterius menjadi lebih konkrit
dalam kehidupan (Makes mysterious more real life).
Pelaksanaan upacara Saparan Gamping tergolong rumit,
mulai dari pembuatan Bekakak dan Gendruwo / Wewe, Midodareni Bekakak, Kirab
Temantin, Menyembelih Pengantin Bekakak, Sugengan Ageng yang diselengarakn di tempat berbeda-beda
disesuaikan dengan pelaksanaan upacara. Perwujudan pengantin Bekakak, Gendruwo,
Wewe, dengan berbagai sajian dan prosesi upacaranya menyajikan sesuatu yang
misterius menjadi lebih konkrit dalam kehidupan nyata yang memberikan indikasi
pengaruh dari cirri-ciri karya kebuduyaaan / kesenian primitive.
Persiapan penyelenggaraan upacara dibagi dalam dua macam
yaitu saparan bekakak dan sugengan ageng. Persiapan untuk saparan bekakak
terutama pembuatan bekakak dari tepung ketan dan membuat sirup kelapa (juruh),
yang memakan waktu ±8 jam. Kekhususan yang tidak dapat dilanggar sampai saat
ini, yaitu pelaku yang menyiapkan bahan mentahnya tetap para wanita, sedang
yang mengerjakan pembuatan bekakak adalah para pria.
Pada saat pembuatan tepung diiringi gejog lesung atau
kothekan yang memiliki bermacam-macam irama antara lain, kebogiro,
thong-thongsot, dhengthek, wayangan, kutut manggung dan lain-lain. Apabila
penumbukan beras telah selesai, kemudian dilakukan pembuatan bekakak, gendruwo,
kembang mayang, dan sajen-sajen, di satu tempat yaitu di rumah Bapak Roesman
(panitia).
Bentuk bekakak laki-laki dan perempuan dengan bentuk
pengantin pria dan wanita pada umumnya dua pasang pengantin bekakak dengan
sepasang bergaya Solo, dan sepasang bergaya Yogyakarta .
Adapun pengantin laki-laki yang bergaya Solo dihias dengan ikat kepala ahestar
berhiaskan bulu-bulu, leher berkalung selendang merah, dan kalung sungsun
berkain bangun tulak, sabuk biru, memakai slepe. Mengenakan keris beruntaikan
bunga melati, dan kelat bau. Sedangkan yang wanita memakai kemben berwarna
biru, berkalung selendang merah dan kalung sungsun. Wajah dipaes, gelung diberi
bunga-bunga dan mentul, di bahu diberi kelat bahu dan memakai subang. Adapun
pengantin laki-laki yang bergaya Yogyakarta, dihias dengan penutup kepala kuluk
berwarna merah, berkalung selendang (sluier) biru dan kalung sungsun, sabuk
biru dengan slepe, kain lereng, berkelat bahu dan bersumping, kemben hijau,
kalung selendang biru (bangu tulak).
Sedangkan prosesi upacra sebagai berikut: Midodareni Bekakak,
Kirab Pengantin Bekakak, Nyembelih Pengantin Bekakak, Sugengan Ageng.
a. Midodareni Bekakak:
Meskipun bekakak ini, berujud pengantin tiruan, tetapi
menurut adat perlu juga memakai upacara midodareni. Kata midodareni bersal dari
bahasa Jawa widodari yang berarti bidadari. Di sini terkandung makna bahwa pada
malam midodareni para bidadari turun dari surga untuk memberi restu pada
pengantin bekakak. Tahap upacara ini berlangsung pada malam hari (kamis malam)
dimulai ± jam 20.00. dua buah jali berisi pengantin bekakak dan sebuah jodhang
berisi sesaji disertai sepasang suami istri gendruwo dan wewe, semua
diberangkatkan ke balai desa Ambarketawang dengan arak-arakan.
Adapun urutan barisan arakan dari tempat persiapan ke
balai desa Ambarketawang sebagai berikut : - barisan pembawa umbul-umbul -
barisan peleton pengawal dari Gamping tengah - joli pengantin dan jodhang -
reyog dari Gamping kidul - pengiring yang lain. Kemudian semua jali dan
lain-lain diserahkan kepada Bapak kepala Desa Ambarketawang. Pada malam
midodareni itu, diadakan malam tirakatan seperti hanya pengantin benar-benar,
bertempat di pendhopo ataupun diadakan pertunjukan hiburan wayang kulit,
uyon-uyon, reyog. Di rumah Ki Juru Permono diadakan pula tahlilan yang
dilaksanakan oleh bapak-bapak dari kemusuk kemudian dilanjutkan dengan malam
tirakatan yang diikuti oleh penduduk sekitar. Di pesanggrahan Ambarketawang
juga diadakan tirakatan.
b. Kirab Pengantin Bekakak:
Gambar 2 & 3:
‘Gendruwo’ selalu dibuat baru setiap tahun.
sumber: www.sleman.go.id
Tahap ‘kirab’ pengantin bekakak ini merupakan pawai
atau arak-arakan yang membawa jali pengantin bekakak ke tempat penyembelihan.
Bersama dengan ini diarak pula rangkaian sesaji sugengan Ageng yang dibawa dari
Patran ke pesanggrahan. Juga diarak ke balai desa terlebih dahulu.
Adapun urut-urutan arakan / pawai upacara tradisional
saparan bekakak sebagai berikut:
- reyog dan
jathilan dari Patran
- sesaji
sugengan Ageng
- barisan prajurit dari
Gamping tengah membawa umbul-umbul memakai celana hitam kagok, berkain, baju
lurik, destalan, seperti prajurit Daeng. Mereka membawa seruling, genderang dan
bende.
- prajurit putri membawa
perisai, pedang, mengenakan baju berwarna-warni, celana anjang cinde dan berkain
loreng.
- rombongan Demang dan
kawan-kawan. Demang tersebut
mengenakan kain, baju beskap hitam, memakai selempang kuning.
- jagabaya
berkain, baju beskap hitam, memakai serempang merah.
- kaum atau rois, mengenakan
kain berbaju surjan memakai serempang putih.
Gambar 4: “Gendruwo”
sumber: www.sleman.go.id
- pembawa tombak berbungkus cindhe beruntaikan bunga melati, mereka
mengenakan celana hitam kagok, baju lurik, iket wulung, berselempang cindhe.
Tiga pemudi mengenakan kain lurik ungu, baju hijau, memakai selempang merah,
masing-masing membawa tiruan landak, gemak, merpati.
- barisan pembawa tombak, memakai celana merah, baju lurik merah, iket
berwarna merah jingga.
- peserta bapak-bapak yang berkain berbaju surjan seragam warna merah,
memakai sampur berwarna-warni.
- prajurit anak-anak,
laki-laki perempuan membawa jemparing (panah).
- joli sesaji (jodhang) yang
dibawa oleh petugas memakai seragam hitam kagok, baju merah iket biru.
- barisan selawatan
- joli bekakak Gunung
Kliling.- barisan yang membawa kembang mayang, cengkir, bendhe, tombak, dan
luwuk semua dipayungi.
- barisan berkuda
- barisan pembawa panji-panji
berwarna-warni yang mengenakan kain, baju surjan biru muda dan iket hitam.
- tiga pemudi membawa banyak
dhalang, sawung galing, ardawalika
- tiga orang pemuda membawa
padupaan dan bunga-bunga diikuti pembawa alat musik genderang, seruling dan
mung-mung.
- prajurit Gamping Lor,
diikuti prajurit, putri yang membawa panah, disusul lagi mereka yang membawa
pedang panjang.
- jali sesaji (jodhang) yang
dibawa oleh petugas memakai seragam celana hitam kagok, baju merah iket biru.
- jathilan dari patran
- prajurit Gamping Kidul, ada
yang memakai topeng buron wana (landhak, kerbau, garuda) ada yang membawa
tombak bertrisula, tombak biasa.
- reyog Gunung Kidul (seperti badhak merak)
c. Penyembelihan Pengantin Bekakak
Gambar:
5,6,7.
Upacara
Penyembelihan Bekakak
sumber: www.sleman.go.id
Apabila arak-arakan telah tiba di Gunung Ambarketawang,
maka joli pertama yang berisi sepasang pengantin bekakak, diusung ke arah mulut
gua. Kemudian ulama (kaum) memberi syarat agar berhenti dan memanjat doa. Selesai
pembacaan doa, boneka ketan sepasang pengantin itu disembelih dan
dipotong-potong dibagikan kepada para pengunjung demikian pula sesaji yang
lain. Arak-arakan kemudia dilanjutkan menuju Gunung Kliling untuk mengadakan
upacara penyembelihan pengantin bekakak yang kedua dan pembagian potongan
bekakak yang kedua kepada para pengunjung.