A. Pendahuluan
Pendahuluan
Era globalisasi dan moderenisasi yang diiringi dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi secara tidak langsung telah melahirkan suatu budaya baru dan mempengaruhi tatanan budaya yang selama ini mewarnai berbagai sendi kehidupan masyarakat. Fenomena tersebut memang tidak bisa dielakkan dan harus disikapi dengan positif dan arif, karena pada dasarnya memang diperlukan dan harus diakui sangat bermanfaat bagi kemajuan. Namun kita tidak boleh lengah dan terlena, karena disamping dampak positif, era keterbukaan dan kebebasan seperti sekarang ini apabila tidak diwaspadai akan menimbulkan dampak negative yang merusak budaya bangsa.
Era globalisasi dan moderenisasi yang diiringi dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi secara tidak langsung telah melahirkan suatu budaya baru dan mempengaruhi tatanan budaya yang selama ini mewarnai berbagai sendi kehidupan masyarakat. Fenomena tersebut memang tidak bisa dielakkan dan harus disikapi dengan positif dan arif, karena pada dasarnya memang diperlukan dan harus diakui sangat bermanfaat bagi kemajuan. Namun kita tidak boleh lengah dan terlena, karena disamping dampak positif, era keterbukaan dan kebebasan seperti sekarang ini apabila tidak diwaspadai akan menimbulkan dampak negative yang merusak budaya bangsa.
Suhu politik di Indonesia yang meningkat pasca
reformasi hingga saat ini telah menyebabkan meningkatnya potensi konflik di
masyarakat. Hal ini diperburuk oleh suasana menjelang Pemilu tahun 2009
mendatang, sehingga potensi munculnya konflik di masyarakat berbasis SARA dan golongan
patut diwaspadai agar tidak benar-benar mencuat ke permukaan. Isu ini terus
akan bergulir seiring dengan pesatnya pertumbuhan masyarakat yang berada di
bawah tekanan dan tuntutan dalam menjalani kehidupan yang semakin tidak mudah.
Kota Yogyakarta sebagai miniatur Indonesia dilihat dari keberagaman suku,
agama, dan bahasa, menjadi salah satu kota yang potensial terhadap isu SARA.
Hal ini menjadi wajar karena Yogyakarta terkenal dengan keberagamannya sebagai konsekuensi dari Yogyakarta sebagai
kota pelajar dan pariwisata.
Berbagai macam konflik di masyarakat yang sudah atau
pun yang berpotensi untuk muncul biasanya berkaitan dengan masalah agama dan
kepentingaan golongan. Beberapa contoh dapat dikemukakan sebagai contoh, antara
lain masalah penyiaran agama, penggunaan simbol keagamaan, segi ekonomi, tempat
ibadah, pendidikan, serta politik. Selain itu fanatisme agama yang tumbuh dari
sikap memandang agama sendiri lebih baik, sikap kritis dan cara pandang yang
berlebihan terhadap kelompok lain, baik secara positif atau negatif juga
merupakan pemicu munculnya konflik. Dengan memahami sumber potensi konflik
diharapkan dapat mengantisipasi dan menyelesaikan munculnya konflik sampai akar
permasalahan dan dampaknya, sehingga konflik tersebut tidak berpotensi untuk
kembali terangkat.
Akhir-akhir ini Kota Yogyakarta sering disebut
dengan julukan city of tolerance. Bukan
hal yang terlalu penting untuk mengetahui asal
muasal predikat tersebut. Secara nyata. Yogyakarta telah dikenal sebagai kota
yang aman, damai, tentram dan seolah tanpa gejolak, meskipun orang dari seluruh
nusantara bahkan mancanegara dengan berbagai karakter dan latar belakang hidup
bersama di sini. Perbedaan warna kulit, suku, agama,dan bahasa tidak
menimbulkan gejolak sosial yang berarti. Riak-riak kecil pun hanya sesekali
muncul dan itupun dapat segera diatasi dalam tempo yang relatif singkat.
Makatidak salah kalau kemudian kota ini menjadi tempat belajar dari banyak
pihak untukmengkaji, mempelajari dan kemudian mencontoh model city of
tolerance tersebut.
Masyarakat Kota Yogyakarta yang memiliki karakter
sangat beragam dengan segala keunikannya tentu memerlukan model pengelolaan
yang berbeda dalam menanganipotensi konflik yang ada. Dalam hal ini, budaya
memegang peranan penting. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah
(RPJPD) Kota Yogyakarta Tahun 2005-2025, makna yang terkandung dalam visinya
antara lain adalah bahwa kegiatan pariwisata di Kota Yogyakarta dikembangkan
dengan dasar dan berpusat pada budayaJawa yang selaras dengan sejarah dan
budaya Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat,
kearifan lokal dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Di
kota ini, seni budaya yang berkembang di masyarakat memang bersumber dari
kraton. Seni tari dan gamelan hanyalah sekedar contohnya. Meskipun demikian,
masyarakat daerah lain yang tinggal di
Yogyakarta diberi kebebasan untuk mengembangkan kesenian
dan kebudayaannya.Tidak sulit bagi kita untuk menonton seni budaya dari daerah
lain dalam pentas yang diadakan di Yogyakarta. Hampir semua seni budaya dapat
kita jumpai di sini, karena Yogyakarta memang dikenal sebagai miniaturnya
Indonesia. Budaya dari luar daerah dapat hidup berdampingan dan berkembang di
Yogyakarta. Inilah salah satu bentuk kearifan lokal yang dimiliki Yogyakarta.
Dalam upaya mencapai visi pembangunan "Kota Yogyakarta sebagai Kota
Pendidikan Berkualitas, Pariwisata Berbasis Budaya dan Pusat Pelayanan Jasa,
yang BerwawasanLingkungan" telah dijabarkan sembilan misi, diantaranya
adalah (a) mewujudkan masyarakat Kota
Yogyakarta yang bermoral, beretika, beradab dan berbudaya; serta (b) mewujudkan
Kota Yogyakarta yang aman, tertib, bersatu dan damai. Dengan kedua misi
tersebut diharapkan (a) masyarakat Kota Yogyakarta menjadi masyarakat yang
religius disertai sikap toleransi antar umat beragama, (b) meminimalkan
permasalahan sosial melalui pendekatan basis komunitas dan adil gender pada 5
(lima) kelompok masyarakat, yaitu perempuan, anak, lansia, penduduk miskin dan
difabel, (c) diterapkannya nilai-nilai luhur yang berasal dari budaya dan agama
dalam praktek kehidupan sehari-hari; (d) meningkatnya kesadaran, kedisiplinan
dan peran serta masyarakat dalam menjaga danmenciptakan suasana Kota Yogyakarta
yang aman, tertib, bersatu dan damai; (e) menurunnya intensitas dan frekuensi
konflik sosial yang ditimbulkan karena isu SARAdan kesenjangan sosial ekonomi.
KekuatanGlobalisasi
Yogyakarta menyandang berbagai julukan/atribut yang mempengaruhi eksistensi Kebudayaan Yogyakarta Dunia terus mengalami revolusi 4 T (Technology, Telecomunication, Transportation, Tourist) yang memiliki globalizing force yang kuat sehingga batas antar daerah dan antar negara semakin kabur, dan akan tercipta sebuah global village. Kebudayaan yang berkembang saat ini telah banyak meninggalkan rumus aslinya. Kebudayaan Jawa, misalnya, dikuatirkan tidak lagi bisa menjadi landasan utama dalam pandangan hidup setiap anggota masyarakat yang tinggal di DIY.
Yogyakarta menyandang berbagai julukan/atribut yang mempengaruhi eksistensi Kebudayaan Yogyakarta Dunia terus mengalami revolusi 4 T (Technology, Telecomunication, Transportation, Tourist) yang memiliki globalizing force yang kuat sehingga batas antar daerah dan antar negara semakin kabur, dan akan tercipta sebuah global village. Kebudayaan yang berkembang saat ini telah banyak meninggalkan rumus aslinya. Kebudayaan Jawa, misalnya, dikuatirkan tidak lagi bisa menjadi landasan utama dalam pandangan hidup setiap anggota masyarakat yang tinggal di DIY.
Kota Pendidikan (Kawah candradimuka)
Dapat dikatakan
bahwa Yogya merupakan salah satu Taman Dunia. Oleh karenanya Yogyakarta selalu
bersinggungan dengan wisatawan nusantara, wisatawan mancanegara, pelajar dan
mahasiswa dari daerah lain dan juga dari negara lain dengan latarbelakang
budaya masing-masing, yang sengaja atau tidak sengaja membawa atribut ke-global-an
Arus global
dapat cepat menggerus nilai-nilai budaya lokal sebagai resiko posisi Yogya yang
juga menjadi kawasan Taman Dunia seiring dengan rekayasa penyeragaman
kebudayaan ke dalam ke-global-an. Ketidakberdayaan tradisi dalam
menghadapi kekuatan-kekuatan lain di luar dirinya tidak boleh dibiarkan begitu
saja. Upaya-upaya pembakuan dan modernisasi yang mengarah pada proses
pembunuhan tradisi harus dilawan, karena itu berarti pelenyapan atas sumber
identitas lokal yang diawali dengan krisis Identitas lokal
Strategi Pembangunan Kebudayaan Di
DIY
Kebudayaan
sebagai Landasan Pembangunan
Sebagai komitmen masyarakat DIY dalam
Pembangunan
Perlindungan
terhadap potensi budaya
Pendanaan
yang berkelanjutan
Restrukturasi kelembagaan yang terkait
di bidang kebudayaan
Langkah
Strategis Yang Dapat Ditempuh Dalam Mengembangkan Kebudayaan Di DIY
Memetakan (dokumentasi, dan merekam)
semua asset kebudayaan
Melindungi aset budaya melalui peraturan
perundangan
Mengidentifikasi hubungan kebudayaan
antara DIY dengan daerah lain, bahkan dengan bangsa-bangsa lain
Melakukan upaya penanaman nilai-nilai
budaya DIY
Melakukan
upaya perlindungan (protection), pemeliharaan, dan pelestarian (conservation)
terhadap kebudayaan DIY
Mengupayakan
pengembangan (development) dan pengkayaan (enrichment) kebudayaan
di DIY
B. Pengembangan Budaya Lokal di DIY
Ungkapan-ungkapan Nilai Budaya Lokal Yang Akan Diaktualkan Sebagai Nation
Problems Solving
Hamemayu
Hayuning Bawono
(menjadikan dunia menjadi hayu (indah) dan rahayu (selamat dan
lestari). Di dalamnya mengutamakan harmoni, keselarasan, keserasian dan
keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam, manusia dengan manusia dan
manusia dengan Allah SWT sehingga terwujud negeri yang panjang punjung, gemah
ripah loh jinawi, karta tur raharja.
Aja Dumeh
Jer Basuki Mawa Beya
Alon-alon
waton kelakon (nilai kehati-hatian, bukan grusa-grusu)
Nrima ing pandum
Sawiji, greget, sengguh, ora mingkuh
Golong gilig
Suradira Jayaningrat lebur dening pangastuti
Dudu
Sanak Dudu Kadang Yen Mati melu Kelangan
(Sumber : Makalah Penyajian Disbud DIY, 2010)