ASPEK-ASPEK
KEAGAMAAN
DALAM
UPACARA TRADISI KEMATIAN
Oleh : Drs. H. Abd. Madjid AS
Pendahuluan
Manusia ciptaan dan milik Allah,
lahir di alam dunia untuk beribadah kepada-Nya dan akan kembali ke hadirat-Nya
(Al-Baqarah (2): 156), (Al-Dzarriyat (51): 56).
Manusia diciptakan dari tanah, akan
dikembalikan ke tanah dan kelak akan dibangkitkan dari tanah (Thaha (20): 55).
Kehidupan manusia melalui siklus
kehidupan yang panjang berpindah dari satu alam ke alam yang lain : dari alam arwah ke alam kandungan, lahir ke alam
dunia, transit ke alam barzah
(alam kubur) dan akhirnya menetap selamanya di alam akhirat.
Kematian bukanlah akhir kehidupan,
melainkan perpindahan dari alam dunia ke alam penantian (barzah/kubur).
Kematian merupakan pintu masuk yang harus dilewati oleh setiap manusia dalam
proses kehidupannya. Alam kubur bisa berupa taman surga yang luas dan indah,
namun juga bisa berupa jurang neraka yang mengerikan, bergantung amal perbuatan
manusia ketika di alam dunia; becik ketitik ala ketoro, ngunduh wohing pakarti
(Al-Jumu’ah (62): 8).
Ketika manusia meninggal dunia, maka
terputuslah amalnya, kecuali pahala dari tiga amal : sedekah jariyah, ilmu yang
manfaat dan anak saleh yang mendoakannya (Al-Hadis). Kiriman dari anak cucu,
sanak keluarga dan teman baik berupa do’a, sedekah dan amal saleh yang lain
bermanfaat dan sangat berarti bagi orang yang sudah meninggal untuk menambah
kenikmatan atau mengurangi penderitaannya di alam kubur (Sayid Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah : 168).
Pemahaman agama semacam ini bertemu
dengan budaya Jawa kemudian menyatu secara simboisis dalam bentuk upacara
tradisi kematian.
Upacara tradisi kematian yang
meliputi upacara pemakaman, sur tanah, selamatan tiga hari, tujuh hari, empat
puluh hari, seratus hari, mendak pisan, mendak pindo dan upacara seribu hari
yang berlaku sampai sekarang di dalam masyarakat Jawa khususnya di Daerah
Istimewa Yogyakarta adalah banyak dipengaruhi oleh aspek-aspek ajaran agama
Islam yang bertemu dan menyatu secara simboisis dengan budaya Jawa.
Menyatunya ajaran Islam dengan
budaya Jawa ini sejalan dengan hakekat dan sifat agama Islam sebagai agama
pembawa keselamatan, kedamaian dan penebar rahmat ke seluruh penjuru alam
bertemu dengan sifat orang Jawa yang senantiasa menjaga kehidupan yang harmoni
dengan Tuhan, manusia dan alam.
Para Wali penyebar Islam di
Nusantara dan di Jawa khususnya menyebarkan Islam secara damai menggunakan
falsafah :”Tut wuri hangiseni”
sehingga melahirkan apa yang disebut dengan kearifan lokal dan kearifan budaya.
Upacara tradisi kematian dalam
tulisan ini diambil dari hasil penelitian Tim Peneliti yang diketuai oleh Drs.
Mulyadi pada tahun 1982/1983 di Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan,
Kabupaten Sleman, Desa Gadingharjo,
Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul, dan Kecamatan Kraton Kota Yogyakarta yang
telah diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1984.
Tulisan ini
mencoba mendekati dan menganalisis upacara tradisi kematian yang berlaku dalam
masyarakat Jawa dengan perspektif menyatunya ajaran agama Islam dengan budaya
Jawa.
Hakekat Kematian
Kematian adalah berpindahnya ruh
dari alam dunia ke alam barzah (alam kubur) dengan keadaan yang abadi setelah
berpisah dari jasadnya yang ke mungkinan akan menerima kenikmatan atau siksaan.
Hakekatnya, manusia dapat menangkap
pengetahuan, perasaan gembira dan sedih, rasa enak dan sakit dan sebagainya,
hakekat ini tidak akan mati, karena kematian itu hanyalah terhentinya fungsi
panca indera dan organ-organ tubuh. Dengan demikian kematian itu adalah tidak
berfungsinya seluruh organ tubuh yang berlangsung secara mutlak. Sedangkan
hakekat manusia yakni jiwa dan ruhnya tidak mati. Kematian hanyalah berpisahnya
ruh dari tubuh, atau dirampasnya manusia dari kebiasaan menggunakan kesenangan
dan kenikmatan duniawi secara tiba-tiba.
Dengan kematian tersingkaplah bagi
manusia bagi manusia segala sesuatu yang tidak tersingkap ketika ia masih
hidup. Kehidupan manusia di dunia ini laksana tidur, ketika mereka mati, maka
mereka menjadi terbangun (Imam Al-Ghazali dalam Misteri Kehidupan Abadi setelah
Kematian, 2007: 23).
Abu Said al- Khudri r.a.
meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda :
“Sesungguhnya mayat itu mengetahui orang yang memandikan, orang yang
memikul dan orang yang memasukkan ke liang kubur” (HR. Ahmad).
“Ada dua macam kematian : kematian yang
membuat dirinya istirahat dan kematian yang membuat orang lain istirahat. Bagi
orang beriman, kematian memberinya peluang untuk beristirahat di tempat yang
penuh kedamaian. Bagi pendurhaka, kematian membuat semua makhluk beristirahat dari
ganguannya” (Al-Qarni, 2003: 9).
Sakaratul Maut
Kematian
melalui proses tahap demi tahap dan tahap akhir akan berpisahnya ruh dengan
jasad disebut dengan sakaratul maut. Sakaratul maut sangat berat dan banyak
godaan setan yang akan menyesatkan, maka Nabi menganjurkan untuk mentalqin
mayit.
Imam Muslim meriwayatkan bahwa Abu
Sa’id al-Khudri berkata : “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda : Tuntunlah orang-orang yang akan mati dari
kalian dengan kalimat la ilaha illallah”.
Karena sesungguhnya tidaklah seorang
hamba yang hidupnya diakhiri dengan
kalimat ini kecuali akan dimasukkan ke surga.
Umar bin Khatab berkata :
“Datangilah orang-orang yang sedang sekarat, lalu tuntun mereka dengan kalimat la ilaha illallah, karena sesungguhnya
mereka melihat sesuatu yang tidak kalian lihat”.
Abu Nu’alim meriwayatkan hadis marfu’, Rasul Allah saw berkata : “Datangilah orang-orang yang sedang mengalami
sakaratul maut, dan talkinkan mereka dengan la ilaha illallah, dan beri mereka
kabar gembira tentang surga, karena sesungguhnya orang bijakpun akan menjadi
bingung ketika menghadapi kematian, dan sesungguhnya setan pada saat itu dalam
keadaan paling dekat dengan anak adam. Demi dzat yang jiwaku ada dalam
genggaman-Nya, tidaklah keluar nyawa sorang hamba mukmin dari dunia sampai ia
merasakan kesakitan di setiap anggota tubuhnya sesuai dengan maksiat yang
dilakukannya”.
Jika
kalian berada di dekat orang yang sedang sakaratul maut tuntunlah kalimat la
ilaha illallah, agar orang itu dapat menirukannya sehingga kata-kata terakhirnya
adalah la ilaha illallah, maka berakhirlah kehidupannya dengan keberuntungan
kenikmatan surga sesuai dengan sabda Nabi :
“Barang
siapa yang ucapan terakhirnya la ilaha illallah maka masuk surga” (Imam
Qurtubi dalam Misteri Kematian, 2005: 25).
“Ketika lahir anda menangis, padahal semua
orang di sekitar anda tertawa bahagia. Berkhidmahlah kepada manusia, agar
ketika anda mati, semua orang di sekitar anda menangis, padahal anda tertawa
bahagia” (Al-Qarni, 2003: 167).
Upacara Kematian
1. Maksud dan Tujuan Upacara Kematian
Upacara kematian merupakan warisan budaya nenek
moyang. Setiap orang atau keluarga/rumah tangga pasti selalu pernah atau akan
mengalami kematian, yang oleh masyarakat disebutnya kesripahan. Mereka melaksanakan upacara kematian jika ada salah satu anggota keluarga atau warga desa
yang meninggal dunia, dikatakan sebagai naluri dan merupakan kewajiban tradisi
masyarakat. Sudah barang tentu karena sebagai tradisi, maka dilakukannya
upacara kematian juga berdasarkan pada aturan-aturan atau norma-norma tertentu.
Sebab pada prinsipnya tradisi adalah suatu kebiasaan yang berlakunya
berdasarkan norma-norma tertentu.
Adapun tujuan dilaksanakannya uapcara kematian adalah
untuk menghormati orang yang mati. Menurut kepercayaan masyarakat, orang mati
hanyalah mati raganya atau fisiknya, sedang jiwa atau nyawa atau roh tetap
terus hidup. Roh orang yang telah mati mempunyai kemampuan dan kekuatan yang
luar biasa, jauh di luar kemampuan dan kekuatan orang yang masih hidup.
Masyarakat juga percaya bahwa perjalanan roh menuju ke
alam baka yang disebutnya alam akhirat, merupakan perjalanan jauh, perjalanan
berat yang penuh gangguan dan risiko, perjalanan yang lama, yang semuanya ia
tak dapat dibandingkan dengan dunia ini. Semuanya bersifat gaib. Meskipun
demikian jika “bekal” yang dibawa cukup, semuanya akan dapat dihadapi dengan
baik. Hal ini dikaitkan dengan perbuatan orang sewaktu masih hidup, yang mana
perbuatan baik kelak akan menerima pahala dan sebaliknya perbuatan jahat akan
menerima hukuman (Mulyadi dkk., 1983: 93)
2. Persiapan Upacara Kematian
- Waktu Pemakaman
Mengenai saat pemakaman, biasanya yang dijadikan
dasar perhitungannya adalah saat pemberangkatan jenasah dari rumah ke makam.
Misalnya pemakaman pada jam 14.00 berarti saat itulah saat pemberangkatan
jenasah dari rumah untuk dikuburkan. Saatnya biasanya siang hari antara jam
12.00 sampai jam 16.00 sore waktu setempat. Sebagai pedoman, biasanya sesudah sholat dluhur.
- Tempat Pemakaman
Maksud pemakaman ini adalah untuk mengamankan bau mayit dan untuk
mencegah dari binatang dengan kedalaman sakdedek
sak pengawe (Sayid Sabiq, 1968: 127). Liang kubur itu biasanya dibuat
berdekatan dengan keluarga yang lebih dulu mati, maksudnya biar tidak terpisah
dan tidak kesepian.
3. Upacara Pemakaman
Dalam pelaksanaan upacara pemakaman jenasah atau penguburing layon terdapat beberapa
kegiatan dan perlengkapan yang disebut “uborampe”
mulai dari uborampe pangrukti layon
sampai uborampe panguburing layon,
yaitu perlengkapan merawat jenasah sampai perlengkapan penguburan jenasah.
Adapun rangkaian kegiatan dan uborampe
itu ada macam-macam.
- Upacara ngrukti jenasah
Pada saat kematian seseorang, biasanya segera tampil
orang-orang sekampung untuk menolong dan membantu keluarga si mati sebagai rasa
ikut belasungkawa (berduka cita) atau sering disebut layat atau nglayat. Pada
sesaat itu pulalah lalu tampil salah seorang di antara yang datang itu, yang
biasanya tertua segera melaksanakan upacara nyembahyangake
layon. Mayat ditempatkan di tempat tidur panjang atau amben dan ditidurkan
terlentang mengarah ke utara atau kepala di bagian utara. Posisi tangan si mati
diusahakan “sedakep”, yaitu dua
tangan di dada dengan telapak tangan bertumpangan dan telapak tangan kanan di
atas. Kaki kedua- duanyanya diluruskan dan dirapatkan. Semuanya itu membentuk
tubuh si mati seperti orang yang sedang sembahyang. Tubuh si mati dibuat
telanjang bulat, yang kemudian dilurupi atau ditutupi dengan selembar kain
batik yang biasa dipakai oleh orang perempuan. Kain itu disebut jarik. Penutupan tubuh si mati dengan
kain batik tadi cukup ditumpangkan di atas tubuh si mati tetapi rapat dari
ujung rambut sampai telapak kaki.
- Upacara menyucikan/memandikan
jenasah
Jenasah orang mati yang akan dimakamkan harus dimandikan
supaya suci, sebab segala yang akan dihadapi si mati adalah suci, di antaranya
adalah Tuhan atau Pangeran kangmaha suci.
Upacara nyuceni layon atau memandikan
mayat ini adalah salah satu ketentuan peraturan dalam agama Islam terhadap
jenasah (Zamhari Hasan, 2006: 142).
Setelah beberapa orang sanak keluarga atau tetangga si mati hadir, jenasah segera dimandikan.
Tempat memadndikannya di halaman rumah, yang disebut “tritisan”. Di situ diletakkan sebuah meja besar panjang membujur
arah timur barat, jika rumahnya menghadap ke utara atau ke selatan. Jika
rumahnya menghadap ke timur atau kbarat, maka meja tadi membujur ke arah utara
selatan. Di atas meja ditaruh 5 potong batang pohon pisang (debog) yang telah
dibelah dua, sepanjang sekitar 60 cm, dengan posisi tertelungkup. Potongan
pohon pisang tadi melambangkan atau bermaksud sebagai pengganti anggota
keluarga atau sanak saudara seharusnya memangku. Jika orang mati masih
kanak-kanak atau bayi, biasanya tidak ditaruh meja, sebab memandikannya akan
dipangku atau diembang oleh salah seorang yang ikut melaksanakan upacara
tersebut.
Di sebelah kiri meja jika yang mati orang dewasa atau orang
tua atau anak yang sudah besar dan atau di sebelah kiri tempat duduk yang akan
diduduki si pemangku mayat jika yang mati kanak-kanak atau bayi, diletakkan 5
jamban atau periuk besar yang masing-masing berisi air tawar, air kramas
(mangir) atau air landa yaitu air endapan dari campuran abu merang dan air, air
asam, air dengan larutan garam dan air
bunga yaitu air yang dicampur dengan kembang telon (mawar, melati dan kenanga).
Masing-masing periuk tadi dilengkapi
gayung yang terbuat dari tempurung dan kayu yang disebut “siwur”. Disamping itu disediakan pula
sabun, sisir dan kain. Tempat memandikan mayat itu juga dianggap suci, maka
harus ditutup. Biasanya disebut “rana”
atau “slintru”. Kalau tidak demikian
dapat menggunakan kain batik lembaram yang dipancangkan, untuk membuat agar
tempat itu tersekat atau tertutup. Jika mayat sudah dibawa keluar rumah dan
berada di tempat pemandian itu, di bagian atas dilindungi dengan satu atau dua
lembar kain batik yang masing-masing ujungnya dipegangi orang, dengan posisi
berdiri dan tangan terangkat ke atas. Sedangkan orang-orang yang memandikan
biasanya sanak saudara atau tetangga si mati yang tergolong tua dengan jumlah 5
atau 7 orang dipimpin oleh Kaum.
- Upacara mengkafani jenasah
Di dalam rumah di tempat yang telah disediakan, mayat yang
sudah disucikan diletakkan di situ. Kemudian mayat dibungkus dengan “lawon” atau kain mori putih yang biasa
untuk pembungkus mayat, setebal 1 atau 3 lapis/rangkap. Hal inipun dilakukan
oleh kaum dan dibantu oleh beberapa orang. Sebelum dibungkus, pada
bagian-bagian tubuh tertentu misalnya muka, ketiak tangan (cangklekan), ketiak
kaki (lakang), alat kelamin, lutut, siku-siku, pergelangan tangan dan kaki
serta segala lubang diolesi minyak atau serbuk kayu cendana atau minyak wangi
lainnya agar mayat tadi berbau harum. Pada bagian-bagian lubang tubuh yang
jumlahnya 9 yang sering disebut “babahan
hawa sanga” seperti 2 lubang hidung,
2 lubang mata mata, 2 lubang telinga, 1 lubang muLut, 1 lubang dubur/anus dan 1
lubang kelamin semua ditutup dengan kapas yang telah diberi wangi-wangian.
Setelah itu baru dibungkus dengan kain putih tadi yang melambangkan kesucian.
Adapun cara menalikannya dengan cara “tali wangsul” yaitu cara menali yang nantinya mudah dilepas lagi.
Bagian-bagian yang diberi ikatan tali tadi ada 7 yaitu pada bagian atas kepala,
leher, dada, pinggang, di atas lutut, pergelangan atau mata kaki dan terakhir
pada bawah telapak kaki.
Adapun letak semua simpul ikatan tali tadi
di bagian kiri tubuh si mati, agar memudahkan membukanya bila nanti akan
dilepas.
- Upacara menyembahyangkan
jenasah
Seteklah jenasah dimasukkan ke dalam bandosa,
kemudian disembahyangkan secara berjamaah. Biasanya sembahyang angkatan pertama
diimami oleh kaum Rois dan kemudian disembahyangkan secara bergelombang oleh
para pelayat yang berminat samapi saat upacara pemberangkatan jenasah.
- Upacara “telusupan” dan
pemberangkatan jenasah
Upacara telusupan dilakukan menjelang jenasah diberangkatkan
untuk dibawa ke makam. Pada upacara ini bandosa yang telah berisi mayat telah
dipikul oleh beberapa orang dan berhenti di halaman. Orang-orang yang
memikulnya saling silih berganti dan tidak boleh ada yang sampai kepayahan.
Dengan ikut memikul jenasah itu, berarti ikut meringankan beban si mati dan
yang ditinggalkan, di samping akan mendapatkan pahala tersendiri.
Pada waktu itulah sambutan-sambutan dari beberapa orang yang
telah ditunjuk dilontarkan hingga kematiannya. Pada acara sambutan itu juga
diutarakan ucapan terima kasih atas segala partisipasi dan bantuan dari
berbagai fihak, baik yang berupa moral maupun materiil dan tenaga, semoga Tuhan
yang akan memberikan imbalan. Permohonan maaf dari si mati dan keluarga yang
ditinggalkan kepada para handaitolan yang hadir, dan pelunasan hutang, juga
dilontarkan oleh yang memberikan sambutan. Hal ini juga mendoakan si mati agar
arwahnya diterima di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa serta diampuni segala
dosa-dosanya, selamat sampai tujuannya. Sebaliknya keluarga yang ditinggalkan
juga selalu mendapatkan rahmat dan karunia serta ketenteraman dari Tuhan.
Sesudah sambutan selesai dilanjutkan dengan upacara telusupan
bandosa yang berada di atas bahu orang-orang yang memikulnya. Kemudian anggota
keluarga atau sanak saudara/ahli waris berurutan lewat di bawah peti sampai 3
atau 5 atau 7 kali, yang diawali dari sebelah kiri, lewat di bawah jenasah lalu
belok ke kiri lagi. Hal itu dilakukan sebagai pertanda perpisahan terakhir
antara si mati dengan keluarga/ahli waris yang ditinggalkannya, di samping agar
ikatan dengan keluarga dan ahli waris yang ditinggalkan masih tetap ada.
Setelah upacra telusupan selesai, dilanjutkan pembacaan doa
oleh kaum (Soebardi Cs., 1961: 98), yang maksudnya memintakan ampun kepada
Tuhan YME dan agar arwah si mati diterima di sisi-Nya. Pada pembacaan doa itu,
para pelayat juga ikut berpartisipasi dengan memberikan ucapan amin. Selesai
itu kaum memberikan komentar tentang pesan-pesan wasiat dari si mati, yang diucapkan sewaktu menjelang saat-saat
kematiannya. Di samping itu juga nadar
atau janji tertentu oleh keluarga yang diberikan kepada si mati sewaktu masih
hidup, tetapi belum sampai nadar itu terlaksana, sudah ditinggal mati, maka
dengan itu pula nadar tersebut dinyatakan batal.
Selesai pengungkapan nadar yang dibatalkan tadi, dilanjutkan
oleh kaum dengan membacakan doa “La
illaha illallah muhamadarasulalah” sebanyak 3 kali dan diikuti oleh para
pelayat. Doa itu sebagai pertanda jenasah mulai diberangkatkan atau “dibudalake”. Sedangkan upacaranya
disebut “budalan”. Sesaat jenasah dan
iringannya berangkat, diawali dengan penyebaran sawur ke atas jenasah dan pembawa payung jenasah memayunginya.
Penyebaran sawur dilakukan ke depan dan ke samping. Hal itu dilakukan dengan
maksud agar perjalanan arwah si mati ke alam baka selalu mendapatkan atau
menemui keenakan di jalan atau terjamin kebutuhannya. Hal itu dapat dicerminkan
pada ujud sawur itu juga dimaksudkan sebagai bekal si mati, ibarat orang yang
masih hidup seperti dikatakan orang selalu “cepak
rejeki/sandang pangane”. Maksud yang lain lagi adalah “buang sebel sial” atau membuang segala keruwetan atau hal-hal yang
dapat mendatangkan mala petaka.
Pada saat itu pula ada seorang perempuan dari keluarga si
mati membawa “sentir” atau pelita dan
“sapu gerang” atau sapu lidi yang
sudah tua. Dia mendahului perjalanan/pemberangkatan jenasah dengan menyapu
jalan sambil membawa pelita yang menyala. Hal itu hanya dilakukan sejauh 7
langkah dari tempat awal pemberangkatan jenasah. Sesaat kemudian segera disusul
dengan keberangkatan jenasah dan para pengiring untuk pergi ke makam.
Hal seperti di atas dilakukan dengan maksud/melambangkan
suatu maksud agar perjalanan arwah si mati selalu mendapatkan jalan yang bersih
dan selalu mendapatkan terang, atau siangkatnya mendapatkan jalan yang benar.
Perlengkapan lain yang ada dalam upacara pemakaman jenasah,
secara keseluruhan ada bermacam-macam :
1)
Sawur. Sawur
terdiri dari sejumlah uang logam, beras kuning (beras yang dicampur dengan
kunyit yang diparut) ditambah kembang telon (mawar, melati dan kenanga) serta
sirih kinang dan beberapa gelintir rokok linting. Semuanya itu ditempatkan
dalam bokor atau takir (wadah yang terbuat dari daun pisang). Seperti
disebutkan di atas, hal ini dimaksudkan sebagai bekal si mati agar selalu
mendapatkan kemurahan dari Tuhan, di samping juga ditujukan terhadap keluarga
yang ditinggalkan.
2)
Payung. Payung
yang digunakan dalam upacara kematian sering disebut payung jenasah. Payung itu
mempunyai tangkai yang panjang. Payung itu digunakan untuk memayungi jenasah
sejak keluar dari rumah hingga di kuburan. Payung tersebut melambangkan
perlindungan. Dalam upacara kematian, penggunaan payung melambangkan suatu
maksud agar arwah si mati selalu mendapatkan perlindungan dari Tuhan atau
sering disebut “diayom-ayomi”.
Sebagai bekal dalam perjalanan jauh, payung itu juga dimaksudkan untuk mendapat
perlindungan dari panas dan hujan.
3)
Sepasang
maejan. Biasa terbuat dari jenis kayu yang kuat dan tahan air serta
awet. Dibuat dengan ukuran panjang sekitar 60 cm, lebar 15 cm, tebal sekitar 5
cm. Pada bagian atas berbentuk runcing agak menumpul dengan ukiran bunga
melati. Sepasang maejan yang terdiri 2 buah itu ditanam di atas kuburan, satu
di bagian arah kepala dan satunya lagi di bagian arah kaki. Maejan tersebut
sebagai tanda bahwa pada tempat tersebut telah dikuburkan seseorang. Maejan
yang yang berada pada bagian arah kaki jenasah yang dikuburkan biasanya
dituliskan nama orang yang dikuburkan di situ beserta hari, tanggal, bulan dan
tahun kematiannya, dengan dasar tahun Jawa. Bentuknya yang runcing dari maejan
tersebut sebagai lambang tombak raksasa. Sedangkan ukiran berbentuk/motif bunga
melati sebagai lambang keharuman.
4)
Sebuah
tempayan kecil (klenting) atau kendi. Kendi atau klenting digunakan
untuk wadah air tawar yang dicampuri dengan serbuk atau minyak cendana dan
kembang telon, yang nantinya akan disiramkan di atas kuburan dan maejan. Semua
itu melambangkan kesucian, kesegaran dan keharuman nama si mati.
5)
Degan
krambil ijo (kelapa hijau yang masih muda). Kelapa hijau yang masih muda
itu nantinya, setelah jenasah dikuburkan, dibelah dan airnya disiramkan di atas
kuburan. Sedangkan belahannya juga ditelungkupkan di atas kuburan itu pula.
Maksudnya adalah sebagai air suci, juga air segar pelepas dahaga. Maksud yang
lain ialah sebagai penolak bala dan keteguhan hati si mati. Dalam hal ini
dikiaskan dari pohon kelapa adalah pohon yang teguh dan tidak mudah
berombang-ambing angin atau lainnya.
6)
Gegar
mayang. Gegar mayang adalah semacam boket atau rangkaian bunga,
yang terbuat dari janur (daun kelapa muda) dan bunga, yang biasanya ditancapkan
pada sepotong “guling”/batang pohon
pisang, sepanjang kurang lebih 15 cm. Gagar mayang itu digunakan, bila orang
yang mati adalah orang remaja atau dewasa tetapi belum kawin. Hal itu
dimaksudkan agar arwah si mati tidak mengganggu para pemuda atau pemudi daria
keluarga sendiri maupun dalam lingkungan desanya.
Dalam upacara budalan atau pemberangkatan jenasah
dari rumah ke makam, juga ada aturan tersendiri. Selain sebagian telah
diuraikan di atas, di sini akan disebutkan urut-urutan daripada iringan
jenasah, dari yang paling depan hingga paling belakang. Adapun
urut-urutannya adalah sebagai berikut :
1)
Bagian paling depan adalah pembawa bunga, adakalanya 2
orang atau lebih.
2)
Bagian berikutnya pembawa gagar mayang, jika yang mati
remaja atau dewasa tetapi belum kawin, yang dalam istilah setempatnya jika yang
mati itu “jaka atau perawan” artinya
jejaka atau gadis.
3)
Bagian berikutnya adalah pembawa sawur, biasanya 2
orang.
4)
Pembawa maejan (2 orang)
5)
Pembawa perlengkapan lainnya, seperti degan, dan
lainnya
6)
Kaum
7)
Usungan jenasah dan pembaya payung jenasah
8)
Para pelayat.
- Upacara penguburan jenasah
Penguburan jenasah dilakukan/diawali dengan
memasukkan jenasah ke dalam liang kubur. Di dalam liang kubur, jenasah
diletakkan dengan posisi menghadap kiblat, dengan pipi menempel pada dasar
lubang. Untuk mempertahankan kemiringannya dengan ditahan gelu. Setelah itu
baru ikatan tali pocongan dilepas.
Penguburan jenasah, baik yang dimasukkan dalam peti maupun
yang tidak, biasanya di dalam kubur diberikan rongga, yang pemberian sekatnya
pada batas antara kruwat dan karas, dan itu disebut glogor. Agar dapat lebih
rapat, biasanya ditumpangi dengan “galar”,
yaitu bambu yang telah dibelah kemudian dicacah, sehingga membentuk lembaran.
Dalam upacara penguburan itu, tidak boleh ada sisa-sisa
glogor atau galar atau potongan-potongan lainnya yang tersisa atau tercecer.
Sebelum liang kubur itu ditimbun lagi, terutama sewaktu
sesaat setelah mayat berada di dalam karas, segera kaum membacakan doa kubur
untuk si mati. Setelah pembacaan doa selesai, kaum mengawali memimpin menimbun
liang kubur tadi, dengan memasukkan tanah sebanyak tiga cangkulan atau 3 jimpit
tanah dilemparkan ke dalam liang kubur. Hal itulah yang disebut “ngurugi” atau menimbun. Segera disusul
kemudian oleh para pelayat juga ikut melakukan hal yang serupa seperti yang
dilakukan oleh kaum, dan selanjutnya penimbunan penuh dilakukan oleh
orang-orang yang telah ditunjuk.
Dalam hal liang kubur ini, baik pembuatannya maupun
penimbunannya, berlaku suatu pantangan tertentu, yaitu tidak boleh
menggusur/ngesur tanah di luar batas yang telah ditentukan, atau juga tidak
boleh menggusur kuburan lain, ditakutkan ada hukuman balik, di mana liang kubur
itu akan menyempit, yang berarti siksaan bagi si mati. Hukuman atau malapetaka
yang serupa juga akan menimpa si penggali kubur, jika kelak ia mati, atau
bahkan dia menjadi "cendak umur”
artinya pendek umur.
Disamping itu masyarakat juga percaya bahwa jika seseorang
sewaktu hidupnya sering serakah terhadap masalah tanah, misalnya sering
berebutan tanah atau batas tanah, menggusur batas tanah milik orang lain atau
istilahnya “ngesur galengan” maka
jika telah mati, liang kuburnya akan “mingkup”
atau menyempit.
- Upacara talqin jenasah
Setelah selesdai meratakan liang kubur, kemudian dilakukan
upacara talqin jenasah oleh Kaum/Rois dengan menghadap kiblat di sisi kepala jenasah. Maksud dari
talkin adalah “mengajarkan/mengingatkan
kepada mayat tentang pertanyaan qubur oleh malaikat Mungkar dan Nakir agar
mayat mampu menjawab pertanyaan kbur dengan benar sehingga selamat dan ni’,at
di alam kubur”
Iman Al-Thabrani meriwayatkan hadis dari Abu Umamah al-Bahili
bahwa ia berkata kepada Said bin Abdullah al-Azadi : “Wahai Sa’id, jika aku
mati maka lakukanlah seperti apa yang diperintahkan oleh Rasulullah saw. dengan
sabdanya beliau : “Jika salah seorang
diantara kamu meninggal dan tanah telah diratakan, maka hendaklah salah seorang
diantara kamu berdiri pada sisi kepala orang yang meninggal, dan ucapkan
kepadanya : ‘Wahai fulan bin fulan’ sesungguhnya dia mendengar namun tidak
dapat menjawab. Kemudian ucapkanlah kedua kalinya : ‘Wahai fulan bin fulan !
niscaya mayit akan duduk’. Kemudian ucapkan yang ketiga kalinya : ‘Wahai fulan
bin fulan ! niscaya ia akan berkata : tunjukkanlah kami, semoga engkau dirahmati Allah, namun
kamu sekalian tidak mendengar perkataan mereka. Ucapkan kepadanya : ‘ingatlah
suatu perjanjian ketika engkau keluar dari dunia, yaitu bahwa sesungguhnya
tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad itu utusan Allah, dan
sesungguhnya engkau rela Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, Muhammad
sebagai Nabi dan Al-Qur’an sebagai panduan hidup’. Maka sesunggunya salah satu
dari malaikat Mungkar dan Nakir akan
mundur samabil berkata : ‘Marilah kita pergi untuk apa kita duduk di dekat
orang yang diajari cara menjawabnya’” (Al-Ghazali : 2007: 17) dan (Sayid
Sabiq dalam Fiqih Sunnah, 1968: 133).
Selesai pemakaman disunatkan berhenti sejenak untuk
memohonkan ampun terhadap mayat dan memohonkan ketetapan karena pada saat itu
ia sedang mendapatkan pertanyaan kubur.
4. Upacara-upacara Sesudah Pemakaman
Di dalam kematian seseorang, segala bentuk upacara
sesudah upacara pemakaman biasa disebut upacara “slametan” atau selamatan.
Upacara-upacara selamatan di luar upacara pemakaman
ada 8 (delapan) macam yang pokok, yaitu surtanah, telung dina, pitung dina,
patang puluh dina, satus dina, pendak pisan, pendak pindo, dan sewu dina.
- Surtanah
Surtanah berasal dari kata (Jawa: ngesur tanah), yang berarti
“nylameti wong kang mentas mati”
(Porwodarminto, 1939: 396) yang maksudnya melakukan selamatan terhadap orang
yang baru saja meninggal.
“Ubarampe” atau
perlengkapan dan materi dalam upacara surtanah itu ada macam-macam.
1)
Sega golong/nasi golong; yaitu nasi yang dibentuk
seperti bola. Jumlahnya tidak tentu. Dulu hanya sebanyak “pitung jodo” atau 7 pasang yaitu 14 buah, tetapi itupun tidak
mutlak.
2)
Sega asahan/sega ambengan; yaitu nasi putih yang
ditaruh di atas nyiru/tampah dan disertai lauk-pauknya.
3)
Tumpeng pungkur; yaitu nasi yang dibentuk
gunungan/kerucut, kemudian dibelah dua dan diletakkan pada tampah dengan posisi
saling bertolak belakang. Tumpeng itu masih diberi lauk pauk “jangan adem” atau sayur tidak pedas, dan
“kuluban” atau gudangan (daun-daunan
yang telah dimasak tetapi tanpa kecambah, kangkung dan daun jlegor).
4)
Sega wuduk; yaitu nasi yang diberi santan, garam dan
daun salam.
5)
Ingkung bumbu lembaran; yaitu daging ayam jantan utuh
(diingkung) yang dimasak dengan bumbu bawang merah/brambang, garam, gula
kelapa/gula jawa, santan, daun salam. Ditambah lagi dengan 3 lembar daun kobis
atau kol, dan inilah yang disebut bumbu lembaran.
6)
Pecel panggang ayam; yaitu daging ayam bakaran yang
dipecah-pecah (atau disuwir-suwir)
dicampur dengan parutan kelapa, bawang putih, tempe bakar, gorengan jerohan
(hati, usus, rempelo) beserta bumbunya antara lain garam.
7)
Di samping itu disediakan pula lauk segar antara lain
kedele hitam yang digoreng, 3 potong daging kelapa sebesar jari tangan, 3 buah
kerupuk kulit atau krecek, 3 iris ketimun, 3 lembar daun kobis putih, 3 bawang
merah yang telah dikupas, 3 lombok merah dan uyah gerusan atau garam yang telah
dihancurkan. Lauk yang lain lagi adalah goreng-gorengan yang berujud ikan asin,
bregedel, kerupuk, tonto dan lain-lain.
8)
Tumpeng wajar atau tumpeng lawaran; yaitu nasi putih
biasa yang dibentuk gunungan tanpadiberi lauk pauk.
9)
Kembang rasulan/bunga rosul yang biasanya digunakan
kembang telon (mawar, melati, kenanga) sering ditambah bunga kantil.
10) Bubur atau
jenang abang dan putih; yaitu bubur yang diberi gula kelapa (jenang abang) dan
bubur biasa (jenang putih).
11) Tukon
pasar; yaitu materi selamatan yang berupa segala macam buah-buahan.
12) Wajib,
yaitu materi selamatan yang biasanya berupa uang sekedarnya, yang nantinya diberikan
kepada kaum.
Semua materi di atas disajikan pada suatu tempat, yang
kemudian “dikepungake”/dikepung oleh
tetangga dan sanak keluarga yang hadir. Pelaksanaan inilah yang disebut dengan
“kenduren” atau kepungan. Bila semuanya itu telah “diujubake” oleh kaum yang biasanya ditutup dengan doa berbahasa
Arab, kemudian dibagi-bagikan kepada semua yang hadir.
- Telung dina/nelung dino
Upacaraselamtan nelung dina ini dilaksanakan tepat 3 hari
sesudah kematian seseorang. Telu
berarti tiga, dan dina berartu hari.
Materi atau perlengkapan pada selamatan telung dina hampir sama pada selamatan
surtanah, tetapi tanpa tumpeng pungkur beserta lauk pauknya, kemudian ditambah
dengan takir pontang, yaitu wadah dari daun pisang dan daun kelapa yang masih
muda, berisikan nasi putih dan nasi punar, yaitu nasi yang diberi kunyit,
sehingg juga disebut nasi/sega kuning. Selain itu juga ditambah ancah, yaitu
sayur kecambah, kacang panjang yang telah dipotong-potong, bawang merah yang
telah diiris-iris, garam dan lain sebagainya. Dalam hal penggunaan sajen juga
sama.
- Pitung dina/mitung dina
Upacara selamatan pitung dina/tujuh hari itu tepat
hari kematian seseorang. Rangkaian materinya sama dengan selamatan telung
dina/tiga hari, tetapi ditambah dengan apem ketan kolak. Ada sebagian anggota
masyarakat yang berpendapat bahwa apem ketan kolak itu diadakan hanya mulai
pada selamatan patang puluh dina/empat puluh hari. Masalah sesajen masih sama.
- Patang puluh dina/matang puluh
dina
Upacara selamatan patang puluh dina/empat puluh
hari itu dilaksanakan tepat 40 hari dari kematian seseorang. Materi atau
perlengkapannya sama dengan upacara selamatan pitung dina. Hanya saja materi
yang berupa ingkung ayam biasanya diusahakan dari ayam yang mempunyai warna
putih mulus. Akan tetapi jika ternyata tidak didapatkan ayam jantan yang putih
mulus, dapat juga digunakan ayam jantan biasa. Pelaksanaan sesajen juga sama
dengan upacara selamatan sebelumnya.
- Satus dina/nyatus dina
Upacara selamatan satus dina/seratus hari ini
dilaksanakan tepat seratus hari sejak kematian seseorang. Macam materi atau
perlengkapan dan sesajen juga sama dengan di atas.
- Pendak pisan/mendak pisan
Upacara selamatan pendak pisan ini dilaksanakan
tepat tempo setahun sejak kematian seseorang. Materi dan sesajennya juga sama
dengan di atas.
- Pendak pindo/mendak pindo
Upacara selamatan pendak pindo ini dilaksanakan
tepat tempo 2 tahun sejak hari kematian seseorang. Materi dan perlengkapan
serta sesajennya juga sama dengan di atas.
- Sewu dina/nyewu dina
Upacara selamatan sewu dina atau 1000 hari ini dilaksanakan tepat 1000 hari sejak
kematian seseorang. Selamatan sewu dina ini biasanya diadakan secara
besar-besaran, sebab yang dianggap terakhir kalinya. Materinya sama dengan di
atas, tetapi biasanya ditambah dengan potong kambing, dara/merpati dan
bebek/itik, di samping juga ayam. Ada syarat-syarat tertentu bagi binatang yang
akan dipotong pada upacara selamatan kematian ini. Kalau ayam, baik pada
selamatan surtanah sampai seribu hari ini sayaratnya sama saja, yaitu sebelum
disembelih harus dimandikan dulu dengan air bunga. Sedangkan untuk merpati dan
kambing masih ada syarat lain. Kambing
yang digunakan pada selamatan 1000 hari ini, sebelum dipotong lebih dahulu
dimandikan dengan air bunga setaman, dikeramasi dengan air landa/mangir, diselimuti
dengan kain putih/mori yang biasa digunakan untuk pembungkus mayat, diberi
kalung rangkaian bunga dan diberi makan daun sirih. Sesudah itu baru pagi
harinya dipotong. Yang memotong juga kaum, baru penyelesaiannya dilakukan oleh
orang lain yang telah ditunjuk. Untuk burung merpatinya, selain dimandikan
dengan air bunga setaman, juga diberi kalung rangkaian bunga.
Selain diadakan pemotongan binatang yang berupa kambing,
ayam, itik dan merpati, juga diadakan pelepasan sepasang merpati sesudah
kenduri dan pembacaan ayat-ayat Al Qur’an selesai. Pada upacara selamatan ini selain diadakan
sesajen seperti selamatan-selamatan sebelumnya, juga ditambah sesajen yang lain
yang berupa klasa bangka/tikar,
benang lawe, jodog/tempat menaruh lampu sentir, clupak berisi minyak goreng/lenga klentik beserta sumbu/uceng-uceng, 1 botol minyakgoreng/minyak klentik, sisir, minyak wangi,
cermin, kapas, kemenyan, pisang raja/gedang
ayu 6 sisir atau 3 tangkep, gula
kelapa atau gula jawa 2 buah atau 1 tangkep, 1 buah kelapa utuh, 1 takir beras atau lebih, benang
jahit dan jarum dan bunga. Semua itu disajikan di tempat melaksanakan kenduri
atau pembacaan ayat-ayat Al Qur’an; sajen itu nantinya akan menjadi bagian atau
berkatan si kaum dan santri yang ikut
dalam pembacaan ayat-ayat Al Qur’an juga mendapatkan berkatan 1 tebok atau 1 kroso (wadah yang terbuat dari daun
kelapa), yang di dalamnya berisi bermacam-macam makanan dan uang sekedarnya.
5. Lambang-lambang dan Makna yang Terkandung dalam
Upacara
a.
Sega golong
melambangkan kebulatan tekad yang manunggal atau istilah Jawanya “tekad kang gumolong dadi sawiji”. Dalam
hal kematian, baik yang mati maupun keluarga yang ditinggalkannya sama-sama
mempunyai tujuan yaitu surga.
b.
Sega asahan atau ambengan melambangkan suatu maksud agar
arwah si mati maupun keluarga yang masih hidup kelak akan berada pada “pembenganing Pangeran”, artinya selalu
mendapatkan ampun atas segala dosa-dosanya dan diterima di sisiNya.
c.
Tumpeng/nasi gunungan melambangkan suatu cita-cita
atau tujuan yang mulia (gegayuhan kang
luhur), seperti gunung yang mempunyai sifat besar dan puncaknya menjulang
tinggi. Di samping itu didasari pula kepercayaan masyarakat bahwa di tempat
yang tinggi itulah Tuhan Yang Maha Kuasa berada, roh manusiapun kelak akan ke
sana.
d.
Tumpeng
pungkur melambangkan perpisahan antara si mati dengan yang masih
hidup, karena arwah si mati akan berada di alam yang lain sedangkan yang hidup
masih berada di alam dunia yang ramai ini.
e.
Sega wuduk dan lauk
pauk segar/bumbu lembaran maksudnya
untuk menjamu roh para leluhur.
f.
Ingkung ayam
melambangkan kelakuan pasrah atau
menyerah kepada kekuasaan Tuhan. Istilah ingkung
atau diingkung mempunyai makna “dibanda” atau dibelenggu.
g.
Kembang
rasulan atau kembang telon
melambangkan keharuman doa yang dilontarkan dari hati yang tulus ikhlas lahir
batin. Di samping itu bau harus mempunyai makna kemuliaan.
h.
Bubur merah dan bubur putih melambangkan keberanian dan
kesucian. Di sampingitu bubur merah untuk memule
atau tanda bakti kepada roh dari bapak atau roh laki-laki dan bubur putih
sebagai tanda bakti kepada roh dari ibu atau roh perempuan. Secara komplitnya
adalah sebagai tanda bakti kepada bapa
angkasa ibu pertiwi atau penguasa langit dan bumi, semua dibekteni dengan harapan akan memberikan
berkah, baik kepada si mati maupun kepada yang masih hidup.
i.
Tukon pasar untuk
menghormati “dinten pitu pekenan gangsal”
atau hari dan pasaran dengan harapan segala perbuatan dan perjalanan roh si
mati maupun yang masih hidup ke semua arah penjuru mata angin akan selalu
mendapatkan selamat tanpa halangan suatu apa.
Disamping
itu semoga mendapatkan berkahNya hari di mana hari itu diadakan selamatan,
misalnya malam Kamis pon, Rabu Wage dan lain sebagainya.
j.
Wajib
melambangkan suatu niat ucapan terima kasih kepada kaum yang telah “ngujubake”
menjabarakan tujuan selamatan itu, dan terima kasih pula kepada semua fihak
yang ditujunya, semoga semuanya itu terkabul.
k.
Sega punar atau nasi
kuning melambangkan kemulian, sebab warna atau cahaya kuning melambangkan sifat
kemuliaan. Juga dimaksudkan sebagai jamuan mulia kepada yang dipujinya.
l.
Apem
melambangkan payung dan tameng, dan dimaksudkan agar perjalanan roh si mati
maupun yang masih hidup selalu dapat menghadapi tantangannya dan segala
gangguannya berkat perlindungan dari yang maha kuasa dan para leluhurnya.
m.
Ketan adalah
salah satu makanan dari beras yang
mempunyai sifat”pliket’ atau lekat.
Dari kata pliket atau ketan, ke-raket
melambangkan suatu keadaan atau tujuan yang tidak luntur atau layu, artinya
tidak kenal putus asa.
n.
Kolak adalah
melambangkan suatu hidangan minuman segar atau untuk “seger-seger” sebagai pelepas dahaga. Disamping itu juga
melambangkan suatu keadaan atau tujuan
yang tidak luntur atau layu, artinya tidak kenal putus asa.
o.
Kambing,
merpati dan itik
melambangkan suatu kendaraan yang akan dikendarai oleh roh si mati.
p.
Materi sajian lain
seperti tikar, benang lawe, jodog,
sentir, clupak, minyak klentik, sisir, minyak wangi, cermin, kapas, pisang,
beras, gula, kelapa, jarum dan lain sebagainya yang mana hal ini biasanya
pada selamatan seribu hari adalah sebagai lambang dari segala perlengkapan
hidup manusia sehari-hari, dan semua itu dimaksudkan sebagai bekal roh si mati
dalam menjalani kehidupan di alam baka.
Adapun
lambang atau makna dari semua itu antara lain :
-
Benang lawe adalah benag putih sebagai lambang tali
suci sebagai pengikat atau tali hubugan antara keluarga yang ditinggalkan
dengan yang sudah pergi jauh itu.
-
Jodog dan sentir adalah lambang penerang, maksudnya
agar roh si mati tadi selalu mendapatkan terang.
-
Clupak berisi minyak dan sumbu melambangkan obor di
perjalanan dan semangan yang tinggi.
-
Minyak klentik 1 botol sebagai lambang bekal cadangan
jika sewaktu-waktu kehabisan atau lampunya mati. Sebab kebiasaan orang Jawa
jaman dulu menggunakan minyak lampu bukan dari minyak tanah seperti sekarang,
melainkan denga minyak kelapa atau minyak klentik.
-
Sisir, minyak wangi dan cermin melambangkan sebagai
perlengkapan make up atau untuk “dandan’/menghiasi diri, agar rapi dan
wangi, jika perempuan ibarat seperti bidadari, jika laki-laki ibarat sepeti
satriya yang tampan.
-
Kapas yang biasa sebagai alas atau isi bantal
melambangkan bantal suci.
-
Pisang raja sebagai lambang persembahan kepada yang
maha kuasa di samping itu juga sebagai buah segar.
-
Beras, gula kelapa melambangkan makanan beserta lauk
dan bumbunya, sebagai bekal hidup di alam kelanggengan.
-
Jarum dan perlengkapannya sebagai lambang alat pembuat
pakaian, maksudnya sebagai bekal untuk membuat pakaian jika sewaktu pakaiannya
rusak.
-
“Bala pecah” sebagai lambang perlengkapan rumah tangga.
q.
Sapu gerang/sapu lidi
yang telah usang atau tua, sebagai lambang tombak seribu, maksudnya adalah
sebagai senjata bila menemui bahaya. Disamping sapu gerang biasanya juga
diikutsertakan pisau dan sujenpring ampel.
Keduanya sebagai lambang senjata.
r.
Dlingo
bengle sapiturute atau rempah-rempah, sebagai lambang obat-obatan jika
terkena sakit, sewaktu di perjalanan atau di alam yang baru itu.
s.
Telor
melambangkan kebulatan atau kemanunggalan berbagai sifat dan tujuan sebab telor
itu sendiri terdiri dari berbagai lapisan, dan masing-masing lapisan mempunyai
makna sendiri-sendiri.
-
Hitam, yaitu pada kulit keras mengandung makna atau
maksud keteguhan hati dan keteguhan cita-cita atau tujuan.
-
Merah, yaitu pada kulit lunak, mengandungmakna
keuletan dan keberanian.
-
Putih, yaitu pada lapisan putihan telur, mengandung
makan kesucian dan ketulusan hati.
-
Kuning, yaitu pada lapisan kuning telur, mengandung
makna kepandaian, kebijaksanaan dan kewibawaan serta kemuliaan.
-
Hijau, yaitu pada lapisan terdalam atau titik pusat
telor, mengandung makna ketenganan, kesabaran dan kehidupan abadi.
Amal-amal
yang Bermanfaat bagi Orang yang Sudah Meninggal
Orang yang sudah meninggal dunia
akan memetik manfaat dari amal-amal kebaikan
yang dilakukan ketika masih hidup berdasarkan hadis-hadis
sebagai berikut :
1.
Ketika anak adam meninggal, maka terputuslah amalnya
kecuali pahala dari tiga amal : sedekah jariyah, ilmu yang manfaat dan anak
shaleh yang mendoakannya. (HR. Muslim).
2.
Diantara amal kebajikan yang akan menyusul orang mukmin sesudah
meninggal adalah : ilmu yang disebarluaskan, anak yang shaleh, mushaf yang
ditinggalkan, masjid yang dibangun, rumah yang dibangun untk musafir, sungai
yang ia alirkan dan sedekah yang dikeluarkan (HR. Ibnu Majah).
3.
Barang siapa yang mencetuskan suatu sunnah yang baik
maka akan mendapatkan pahalanya dan pahala dari orang-orang yang mengamalkan
sunnah itu tanpa mengurangi pahala mereka barang sedikitpun (HR. Muslim).
Adapun amal-amal kebaikan dari orang lain yang
bermanfaat bagi orang yang sudah meninggal sebagai berikut :
1.
Do’a dan istigfar (Al-Hasyr (59): 11)
2.
Sedekah
Ada
seseorang bertanya kepada Nabi : “Sungguh
bapak saya sudah meninggal dan meninggalkan harta sedang ia tidak berwasiyat,
apakah dihapus dosanya bila saya mensedekahkannya ? Nabi berkata : ia!, dapat
menghapus dosanya” (HR. Shmad dan Muslim).
Selamatan dalam upacara kematian berupa tumpeng dengan
segala rangkaiannya subtansinya adalah bersedekah dan bermanfaat bagi orang
yang meninggal.
3.
Ibadah puasa
Ada seseorang bertanya kepada Nabi : “Wahai Rasulullah, ibu saya mininggal padahal meninggalkan
kewajiban puasa Romadhan, apakah boleh saya mengkadhanya ? Nabi bersabda :
apabila ibumu mempunyai hutang apakah kamu membayarkannya ? Ia menjawab ia akan
saya bayar. Nabi bersabda: hutang kepada Allah lebih wajib untuk dilunasinya”
(HR. Bukhori).
4.
Ibadah Haji
Bahwa seorang perempuan dari suku Juhainah datang
seraya bertanya kepada Nabi : “bahwa ibu
saya bernadzar untuk berhaji namun meninggal sebelum berhaji, apakah kami
hajikannya ? Nabi bersabda : hajikan untuknya, bagaimana jika ibumu punya
hutang apakah kamu bayarkannya ? bayarlah, Allah lebih berhak untuk dibayar”
(HR. Bukhari)
5.
Ibadah sholat
Ada seseorang bertanya kepada Nabi : “Wahai Rasulullah kami mempunyai dua orang
tua yang kami bekteni semasa hidupnya, bagaimana cara berbakti kepadanya
setelah keduanya meninggal ? Nabi bersabda : diantara cara berbakti setelah
meninggal dunia adalah menghadiyahkan pahala sholat dan puasa” (HR.
Al-Daruquthni).
6.
Bacaan Al-Qur’an; menurut pendapat Jumhur Ulama (Sayid
Sabiq dalam Fiqih Sunnah, 1968: 179-720
Al-imam Ibnu Al-Qayim menyatakan : “Ibadah itu ada dua macam, yaitu ibadah yang
bersifat harta dan ibadah yang bersifat tenaga. Syariat telah mengingatkan
sampainya pahala sedekah terhadap sampainya seluruh ibadah yang besifat harta.
Dan mengingatkan sampainya pahala puasa terhadap sampainya seluruh ibadah yang
bersifat tenaga. Dan menginformasikan sampainya pahala haji terhadap sampainya
ibadah yang bersifat perpaduan antara harta dan tenaga” (Sayid Sabiq, 1968:
172).
Pendapat Imam Ibnu Al-Qayim ini dapat untuk memahami
upacara tradisi kematian berupa selamatan/sedekah dengan segala macamnya.
Tabur Bunga di atas Makam
Semua makhluk termasuk hewan dan
tumbuh-tumbuhan bertasbih kepada Allah Rabbul’alamin, namun manusia tidak mampu
memahaminya (Al-Isra’ (17): 44). Ayat ini dapat untuk memahami upcara tradisi
kematian seperti sur tanah (semua yang berkaitan dengan tanah), dan tabur bunga
di atas makam (semua yang berkaitan dengan tumbuh-tumbuhan).
Abu Hurairah mengatakan : “Kami pernah berjalan bersama Nabi
melewati dua makam, lalu beliau berdiri
di atas makam itu, kami pun ikut beridri. Tiba-tiba beliau menyingsikan lengan
bajunya, kami pun bertanya : ‘Ada apa wahai Rasul ? Beliau menjawab : Apakah
kalian tidak mendengan ? Kami menjawab : Tidak, ada apa wahai Rasul ? Beliau
menjelaskan : Dua lelaki sedang disiksa di dalam kuburnya dengan siksa yang
pedih dan hina. Kami pun bertanya lagi : Kenapa bisa begitu wahai rasul ? Jawab
beliau : yang satu tidak bersih kalau membasuh bekas air seninya, dan satunya
lagi suka mencaci orang lain dan suka adu domba. Kemudian Nabi mengambil dua
pelepah kurma dan diletakkannya di atas makam dua lelaki tadi. Kami bertanya :
Apa gunanya ? Beliau menjawab : Untuk meringankan siksa mereka berdua selagi
masih basah” (Al-Hadis) (Munawir Abdul Fattah, 2006: 242).
Tradisi tabur bunga, siram air di
atas makam dan menanam pohon bunga di atas makam, dapat dipahami dari hadis ini
dan ayat tersebut di atas.
Penutup
Upacara tradisi kematian yang meliputi
upacara pemakaman, sur tanah, selamatan tiga hari, tujuh hari, empat puluh
hari, seratus hari, mendak pisan, mendak pindo dan upacara seribu hari yang
berlaku sampai sekarang di dalam masyarakat Jawa khususnya di Daerah Istimewa
Yogyakarta adalah banyak dipengaruhi oleh aspek-aspek ajaran agama Islam yang
bertemu dan menyatu secara simboisis dengan budaya Jawa.
Menyatunya ajaran Islam dengan
budaya Jawa ini sejalan dengan hakekat dan sifat agama Islam sebagai agama
pembawa keselamatan, kedamaian dan penebar rahmat ke seluruh penjuru alam
bertemu dengan sifat orang Jawa yang senantiasa menjaga kehidupan yang harmoni
dengan Tuhan, manusia dan alam.
Para Wali penyebar Islam di
Nusantara dan di Jawa khususnya menyebarkan Islam secara damai menggunakan
falsafah :”Tut wuri hangiseni”
sehingga melahirkan apa yang disebut dengan kearifan lokal dan kearifan budaya.
Bila bangsa ini ingin tetap eksis
dalam persaingan global dan mempertahankan NKRI, maka tidak bisa ditawar harus
menjunjung nilai-nilai kearifan lokal, memadukan agama dengan budaya,
sebagaimana telah terbukti dan teruji dalam sejarah bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Fattah, Muanwir, Tradisi Orang-Orang NU,
Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006.
Depag, Pengamalan Ajaran Agama dalam Siklus Kehidupan,
Jakarta: 2006.
Al-Ghazali, Inya Ulum al-Din, Kairo: al-Masyhad
al-Husaini, t.t.
Al-Ghazali,
Imam, Misteri Kehidupan Abadi Setelah
Kematian, Penerj. Team Sega Arsy, Bandung: SEGA ARSY, 2007.
Mulyadi
dkk., Upacara Tradisional Sebagai
Kegiatan Sosial, Departemen pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1984.
Al- Qarni,
Aidh Ibn Abd. Allah, Drama Kematian,
Penerj. Lukman Junaidi, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2003.
Qucani,
Najafi, Petualangan Setelah Kematian,
Penerj. MJ. Bafaqih, Jakarta: Penerbit Cahaya, 2006.
Al-Qurtubi,
Imam, Menyingkap Misteri Kematian,
Penerj. Ali Ridho Maulachela, Solo : Pustaka Zawiyah, 2005.