ISLAM DAN TRADISI UPACARA KEMATIAN DI JAWA
(PERSPEKTIF METODOLOGIS)
Drs. Mohammad Damami, M.Ag
Konsep
tentang “mati” dalam Islam nampak cukup
sederhana. Dalam Al Qur’an, setidak-tidaknya dikenal 2 (dua) istilah kunci
dalam hal konsep kematian ini, yaitu : ajal
dan maut.
Ajal adalah batas hidup ( QS Al
An’am : 2 ). Yang mengalami ajal (batas
hidup) ini adalah badan kasar manusia. Sementara itu badan kasar manusia itu
sendiri berasal dari beberapa pengertian, antara lain thin ( QS Al An’am : 2 ), turab
( QS Al Hajj : 5 ) dan shalshal ( QS Al Hijr
: 26 ). Intinya adalah dari unsur tanah. Penciptaan manusia ini
berangkat dari konsep “creatio ex nihilo”
(penciptaan dari tiada menjadi ada) yang dalam Al Qur’an dipakai kata khalaqa,
dan dari konsep “transforming a
preexisting matter” ( pengubahan dari suatu materi yang telah ada ) yang
dalam Al Qur’an dipakai kata ja’ala.
Konsep
hidup tentang ajal ( batas hidup )
ini mengindikasikan bahwa semua hal itu ada saat titik puncaknya, misalnya
titik beku benda cair, titik didih benda cair, suhu
badan manusia , garis batas gravitasi bumi, dan sebagainya. Batas atau ajal itu sifatnya menjadi hukum alam
yang tetap. Karena itu, ajal atau batas hidup dalam Islam tidak dianggap
sebagai sebuah misteri kejadiannya, melainkan merupakan sebuah kemestian. Jika ajal ( batas hidup ) telah tiba, maka
hal itu tidak akan dapat ditolak, bahkan tidak dapat diakhirkan atau diawalkan
(QS. Al ‘Araf : 34 ).
Agama
Islam mengonsentrasikan pada masalah “hidup”. Hidup ada 2 (dua), yaitu : di
dunia ( sebelum ajal tiba ) dan di akhirat ( setelah ajal dilewati ).
Hidup di dunia sebagai proses dan kesempatan aksi, sedangkan hidup di
akhirat sebagai produk dan waktunya
menikmati. Segala peralatan dan
perlengkapan hidup hanya dapat dipakai
pada kehidupan di dunia dan tidak dapat dipakai dalam alam kehidupan di
akhirat. Yang dapat terbawa ke alam akhirat hanyalah : amal atau aksi selama
hidup di dunia. Oleh karena itu agama Islam tidak mengajari penganutnya bahwa
kalau ada orang mati lalu membawakan ke kuburnya benda-benda yang disukai atau peralatan dan perlengkapan hidup seperti di dunia ini. Tindakan mengubur berbagai benda kesenangan si mati
seperti itu dianggap sebagai perbuatan
mubadzir., terbuang percuma. Imbalan kenikmatan yang dapat dirasakan di akhirat
adalah paralel dengan banyak sedikitnya amal atau aksi yang baik selama hidup
di dunia. Di akhirat tidak ada pihak
lain yang dapat menolong dari siksa kecuali oleh amal dan aksi saleh yang
pernah dilakukannya di alam dunia.
Maut adalah peristiwa lepasnya daya
hidup (daya hidup = hayat ) (QS Maryam, 19:66 ). Jadi, peristiwa maut
bergandeng erat dengan masalah daya hidup (hayat).
Segala benda yang tidak memiliki daya
hidup (hayat). Segala benda yang tidak memiliki daya hidup (hayat), tidak akan mengalami maut. Magma, lava, batu, pasir, benda-benda tambng
(emas, perak, minyak, uranium dan sebagainya), air udara dan sebagainya tidak
akan mengalami maut, karena benda-benda tersebut tidak memiliki hayat (daya
hidup). Diantara ciri hidup adalah :
bernafas (memerlukan oksigen), makan minum (bagi tumbuhan dibantu sinar
matahari), dan berkembang biak. Segala benda yang memiliki coiri hidup
seperti itu pasti mengalami maut.
Segala benda seperti ini seluruhnya mengandalkan kebutuhan terhadap air ( air
berunsur kimia H2O ) ( QS. Al- Anbiya’ : 30 ).
Dlam
Islam peristiwa maut dipahami dengan
cukup sederhana, yaitu proses terlepasnya daya hidup (hayat) dari tubuh manusia. Proses maut dalam diri
manusia sama dengan proses maut pada diri hewan (binatang) dan
tumbuh-tumbuhan. Karena itu peristiwa
maut bukan sesuatu yang misteri , melainkan
mudah dipahami. Yang tidak dapat dipahami adalah apa yang disebut daya hidup (hayat) itu sendiri. Dalam bahasa
seharihari disebut dengan nyawa. Urusan nyawa ini adalah urusan Tuhan.
Ketika
daya hidup (hayat) masih melekat pada
diri makhluk, maka makhluk menjadi mampu bergerak. Sebaliknya ketika
makhluk ditinggalkan daya hidup (hayat), maka kemampuan geraknya berhenti total . Peristiwa
maut yang menyebabkan gerak berhenti total dan harus berpisah dengan kehidupan sehari-hari inilah yang menimbulkan spekulasi dalam komunitas lokal sejak manusia
ada. Mereka meraba-raba apa yang akan terjadi “di alam sana ‘ yang peraba-rabaan tersebut banyak
dipengaruhi oleh pengalaman hidup sehari-harinya. Karena itulah antara lain
timbul upacara-upacara dan semacamnya.
Dengan
mengikuti uraian di atas, jelas bahwa Islam berangkat dari paradigma deduktif
kitab suci. Sementara itu, tradisi lokal
berangkat dari paradigma induktif
trdisi leluhur. Ketika Islam masuk ke Jawa, kedua paradigma tersebut bertemu, Islam
bermotif dakwah (missi agama) dan tradisi lokal bermotif melestarikan tradisi leluhur.
Keduanya saling tarik ulur dalam wujud
akulturasi dan sinkretisasi. Manakala paradigma deduktif kitab suci yang berhasil menjadi pokok pegangan, maka
disitu tradisi lokal beralih menjadi kekayan budaya semata-mata. Sebaliknya, jika paradigma
induktif tradisi leluhur yang masih dominan, maka disitu tradisi lokal
bertahan menjadi budaya spiritual lokal.
Dengan
adanya kenyataan bahwa masyarakat di Jawa terus mengalami perubahan, maka
pandangan terhadap tradisi lokal berupa upacara kematian, antara lain
tentu juga akan mengalami perubahan. Perubahan pandangan tersebut kiranya perlu
diarahkan lewat dua jalur paradigma di atas. Di satu sisi sangat mungkin upacara
kematian lokal Jawa tersebut akan
bergeser menjadi kekayaan Budaya spiritual
bagi pelaku-pelakunya. Di satu sisi kekayaan budaya yang berupa
upacara kematian ini merupakan
kekayaan budaya yang yang dapat
dipromosikan sebagai local genius masa lalu ( harus diakui
hal ini tentu berbau romantisisme budaya lokal ), di sisi lain kekayaan budaya
spiritual yang berupa upacara kematian tersebut untuk sementara dapat memberi
kepuasan spiritual bagi pelaku-pelakunya.
Nilai
positif yang dapat diambil dari upacara kematian (jika dilihat dari perspektif
kekayaan budaya ) adalah bahwa di
dalamnya dapat ditarik nilai edukatif yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai
edukatif tersebut termuat dalam simbol-simbol yang dipakai, baik itu yang terdapat dalam
waktu\, tempat, peralatan dan prosesi pelaksanaan dari upacara kematian tersebut. Memang harus
diakui, bahwa pemaknaan simbolik tersebut cukup beragam, karena memang metode
pemaknaannya tidak ada pedoman bakunya. Pemaknaannya tergantung pada penafsiran tetua adat biasanya. Ditambah lagi, sumber dari upacara kematian tersebut kebanyakan bersumber pada primbon. Siapa orang yang dipandang
memahami dan menguasai primbon, maka dirinya diangkat secara
tak langsung menjadi tetua adat di Jawa.
Dengan diterbitkannya primbon dewasa ini, hal ini agak membantu dalam hal
sedikit pembakuan dari upacara kematian yang bersifat tradisi tersebut.
Agar
nilai positif dari upacara kematian yang bersifat lokal Jawa di atas dapat
dipahami secara lebih obyektif dan dapat
diambil nilai edukatifnya oleh masyarakat luas, maka ada beberapa usaha yang
perlu dilakukan. Pertama, dilakukan
perekaman langsung dari masyarakat apa yang mereka lakukan terhadap tradisi
upacara kematian ini ( living ritual
). Ini merupakan bahan mentah yang baik untuk dijadikan sumber,. Kedua,
dilakukan pemetaan percampuran tradisi upacara kematian tersebut, misalnya pengaruh
ajaran agama-agama (Islam khususnya ) yang masuk kedalamnya. Pemetaan ini
melibatkan informasi dari berbagai primbon yang ad, dan dapat diperkaya dengan kitab-kitab mujarrabat yang untuk sebagiannya juga sudah mulai diterbitkan. Ketiga, dilakukan
pemaknaan simbolik yang relatif baku .
Hal ketiga ini dapat disebut sebagai proses obyektivikasi.
Artinya, pemaknaan yang semula bersifat prsial-subyektif diubah menjadi
pemahman yang dapat diterima secara umum.
Bahwa
nilai tinggi suatu budaya, untuk zaman ini dan masa seterusnya, akan banyak
ditentukan oleh proses obyektivikasi di atas, bukan hanya oleh anggapan
ke-adiluhungan budaya menurut ukuran subyektif, termasuk ukuran subyektif-
etnik.
Wallahu a’lam bishshawab.
Sumber Tulisan
:
Mulyadi et al.
1982
Upacara tradisional sebagai
Kegiatan sosialisasi Daerah Istimewa Yogyakarta . Jakarta
: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Kebudayaan Daerah, Depdikbud.
Romdon
2002
Kitab
mujarabat, Dunia magi Orang Islam-Jawa. Yogyakarta : Lazuardi
Soemodidjojo
1977 Kitab
Primbon Betaljenur Adammakna. Ngayogyakarta : Penerbit “Soemodidjojo
Mahadewa”.
Suyono, Capt. R.P.
2007
Dunia Mistik Orang Jawa, Yogyakarta : LKIS
At Talidi, Abdullah
2007
Menguak Misteri Kematian &
Alam Kubur, Yogyakarta :
Samodra Ilmu